Bab 9: Pertandingan

1.7K 212 26
                                    

“Bahkan orang lain lebih mudah untuk mengulurkan tangan di saat aku membutuhkan bantuan.”

***

“Kamu serius dengan skor ini? Ini sama sekali tidak sesuai dengan keahlian yang Davin punya.” Coach Adi berkomentar saat merekap nilai seleksi calon anggota tim basket. Kini, ia bersama Gilang dan Revan tengah berada di ruangan khusus yang disediakan untuk anggota basket Bina Bakti.

Revan hanya mengangguk usai mendapat pertanyaan itu. Ia duduk bersandar pada kursi dengan tangan terlipat di bawah dada.

Gilang yang duduk di sebelah Revan mengembuskan napas kasar. Lelaki itu mengambil sebuah kertas berisi nilai yang Revan tulis untuk masing-masing calon anggota. Lantas, membacanya satu per satu.

“Ini enggak fair, Coach. Revan curang. Dia dari awal memang pengin Davin enggak diterima,” ucap Gilang seraya menyerahkan kembali kertas di tangannya pada Coach Adi.

Revan menegakkan tubuh, memandang Gilang dengan tatapan sengit. “Lo enggak usah ngarang cerita! Lagipula lo sendiri yang minta gue jadi juri, kenapa gue nggak punya hak buat nilai sesuai apa yang gue lihat?”

“Masalahnya lo bukan nilai berdasarkan skill yang Davin punya, Van. Angka di kertas itu nggak lebih dari ego lo doang.” Gilang mengalihkan pandang pada Coach Adi. Ia menyerahkan formulir pendaftaran milik Davin dan catatannya tentang tes wawancara yang telah dilakukan. “Coach bisa lihat ini. Dari semua yang mendaftar, saya rasa Davin yang paling serius. Semua jawaban yang dia beri ke saya selama tes wawancara juga sangat membuat saya kagum.”

Coach Adi menerima pemberian Gilang dan mulai membacanya dengan teliti.

“Bahkan dari pengalaman pun Davin lebih unggul dari yang lain. Dia pernah jadi ketua tim basket sewaktu SMP dan bawa timnya jadi yang terbaik dalam banyak turnamen. Saya rasa, dia berhak menerima tempat di tim basket Bina Bakti.”

Coach Adi mengangguk. Ia pun memiliki penilaian sama dengan Gilang. Oleh sebab itu, ia cukup terkejut melihat nilai yang Revan berikan untuk Davin. Pria 33 tahun itu menghela napas. Ia sudah cukup yakin untuk mengambil keputusan.

“Maaf, Van, tapi saya lebih percaya pada Gilang. Saya rasa, sewaktu seleksi pun kamu mencoba membuat Davin kewalahan. Saya pikir itu cara kamu buat mengetes calon anggota, tapi sepertinya kamu memang sengaja. Dia tetap melakukan semuanya dengan baik walaupun saya lihat dia sedang tidak dalam kondisi fit.”

Revan tersenyum miring. Ia rasa, memang ia tak dapat menyingkirkan Davin. “Kalau dia diterima, berarti saya harus keluar dari tim, Coach.”

“Kenapa membuat keputusan seperti itu? Jangan kekanak-kanakan, Revan! Kalau kamu punya masalah sama dia, jangan bawa itu di sini. Selesaikan dan bersikaplah dewasa!”

“Silakan Coach pilih antara saya atau dia. Kalau memang sikap saya kurang ajar, Coach bisa langsung minta saya keluar.”

Coach Adi menghela napas kasar. Ia cukup berat untuk melepas Revan, tapi tak mungkin juga bersikap curang dengan menuruti kemauan lelaki itu. Selama ini, Revan menjadi orang yang paling unggul dalam tim. Namun setelah melihat Davin, ia merasakan potensi besar dalam diri lelaki itu. Untuk melepas salah satu dari mereka rasanya masih terlalu berat.

Pria itu berpikir beberapa saat hingga akhirnya berucap, “Saya kasih kamu pilihan. Setelah seleksi tahap dua nanti, saya minta kamu dan Davin bermain one on one. Kalau kamu menang, saya akan menuruti kemauan kamu untuk tidak menerima Davin di tim. Tapi kalau kamu kalah, kamu tetap harus bertahan di tim dan Davin akan diterima menjadi tim inti.”

“Coach, saya enggak setuju.” Gilang melemparkan pendapat. “Gimana kalau Davin kalah? Kemampuan seseorang bukan cuma dinilai dari cara dia mengalahkan Revan, Coach. Ini tetep enggak adil buat Davin.”

Chance✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang