Bab 12: Masalah Lain

1.9K 219 20
                                    

"Selalu ada kata untuk dirangkai, tapi tak selamanya mudah untuk diucap."

***

Davin memasang posisi setengah duduk sembari membaca pesan dari grup WhatsApp yang beranggotakan dirinya, Fero, Aldi, juga Bagas. Lelaki itu tak dapat menahan tawa membaca seluruh pesan yang temannya kirimkan.

Mulai dari kekhawatiran mereka tentang dirinya yang diselipi guyonan, berdiskusi menjenguknya dengan membawa sekarung buah-buahan, sampai ribut perihal kapan serta memakai baju apa. Dan Aldi akan selalu menjadi orang yang paling heboh dari semuanya.

Kiranya sudah tiga hari sejak berada di rumah sakit, Davin tak sedikit pun membuka ponsel. Banyak pesan berdatangan menanyakan keadaannya. Ia ingin membalas semua, tetapi rasa malas membuatnya hanya menanggapi beberapa pesan pribadi. Sementara chat grup hanya ia baca.

Tak lama, Davin kembali meletakkan ponsel di atas nakas. Ia mengembuskan napas lelah. Duduk diam di rumah sakit sejujurnya membuatnya jenuh bukan main. Apalagi, saat ini ia harus terkurung sendiri sebab orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing. Lelaki itu menilik jam. Hampir pukul empat sore. Sebentar lagi mungkin Vina akan datang.

Davin memejamkan mata, tetapi tak lama setelah itu suara ketukan pintu membuatnya kembali terjaga. “Masuk,” ucapnya dengan sedikit keras agar seorang di luar sana mendengar suaranya. Davin sudah dapat menebak siapa yang datang hanya dari teriakan orang itu.

“Davin, kita dateng!” Aldi masuk paling awal dan langsung bergegas mendekati Davin. Fero menyusul di belakangnya.

Aldi mengernyit usai sampai di samping Davin. “Bentar. Perasaan yang sakit kaki lo, tapi kenapa tangan lo yang ditambal gini?” tanya Aldi seraya meraih tangan Davin yang terpasang infus.

Mendengar itu, Davin menepuk kening. “Lo hidup di jaman batu apa gimana, sih? Nenek-nenek pulang fitnes aja tau kalo ini tuh infus.”

Aldi terkekeh pelan seraya melepas tangan Davin dengan sedikit kasar, membuat lelaki itu meringis. “Gue tau, kok. Cuma biar agak rame aja tadi.”

“Halah, bilang aja kalo emang nggak tau,” sangkal Fero. Ia menarik kursi dan mendudukkan diri di sana. “Gimana kondisi lo? Sorry baru bisa jenguk. Takutnya kemarin-kemarin lo masih butuh istirahat.”

“Udah enakan, kok. Btw, Bagas enggak ikut?” tanya Davin kala menyadari hanya ada Aldi dan Fero.

“Lagi ada urusan katanya. Sok sibuk banget emang tuh anak akhir-akhir ini,” jawab Fero.

“Di grup juga lebih sering diem-diem bae. Ya, emang gitu kan anaknya,” sambung Aldi. Ia meletakkan keranjang buah di atas nakas. Netranya tak sengaja menangkap nampan berisi makanan. Ia membukanya, menemukan nasi lembek beserta sayur yang utuh tak tersentuh. “Lo belum makan, Dav?”

“Agak males makan begituan.”

“Gue coba, ya?” Aldi memasang wajah sumringah. Ia tak pernah membayangkan rasa makanan rumah sakit dan penasaran untuk mencobanya.

Fero memijat kening. Mendadak ia menyesal telah mengajak Aldi datang. “Lo nggak usah ngadi-ngadi, deh! Itu makanan orang sakit. Lo mau ketularan?”

“Lo pikir gue punya penyakit menular?” Davin yang tak terima pun melempar protes. Membuat Fero seketika merasa salah bicara.

“Duh, bukan gitu maksud gue. Ini biar Aldi enggak habisin makanan lo, Dav.”

“Bilang aja lo juga pengin kan, Fer?” Davin tertawa pelan. Ia kembali memusatkan perhatian pada Aldi. Terkejut mendapati temannya itu sudah menyuapkan nasi ke dalam mulut. Melihat menu makanan di nampan, seketika Davin meringis dan bergidik. Sejak kemarin, ia memang tak berani menyentuh makanan yang disediakan oleh rumah sakit.

Chance✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang