"Aku tak lebih dari harap ketika badai menghadang. Berangan ia pulang, tanpa lagi menaruh jarak begitu panjang. Sampai akhirnya waktu membawa terang, bahwa ia masih belum memutuskan untuk datang."
***
Repotnya efek kemoterapi ternyata adalah fakta yang harus Davin rasakan. Lelaki itu sudah berkali-kali memuntahkan isi lambungnya sampai tenaga rasanya terkuras habis. Alhasil, sedari tadi ia hanya berbaring dan mengeluh tak nyaman. Bahkan kini tubuhnya mulai demam. Makanan apa pun tak ingin ia masukkan ke perut. Baru melihatnya saja Davin sudah merasa mual.
“Dav, makan dulu ya? Biar bisa minum obat.” Entah sudah berapa kali Vina membujuk Davin untuk makan. Namun, sang adik tetap menolaknya. Gadis itu merasa prihatin melihat kondisi Davin. Andai tak menguatkan diri, sudah pasti ia telah menangis.
Bahkan Vina tak peduli pada diri sendiri. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolah yang dipakainya sejak pagi. Hanya membalut pakaian atasnya dengan sweater tipis. Sementara di luar, mentari sudah tak lagi menampakkan sinarnya. Beberapa jam lalu, Arman memintanya untuk datang ke rumah sakit menemani Davin. Memang adiknya itu tak langsung pulang usai menjalani kemo agar lebih mudah dipantau, mengingat ini adalah pengalaman pertamanya.
“Mual, enggak bisa makan,” jawab Davin dengan suara lirihnya. Lelaki itu berbaring dengan mata terpejam. Rasa-rasanya ingin sekali menangis. Namun, ini barulah awal dari hal-hal yang mungkin akan lebih berat ke depannya. Sehingga Davin mengusahakan diri untuk menjadi kuat.
“Gimana dong kalau enggak makan? Kakak juga bingung jadinya. Panggilin dokter apa suster aja, ya, kalau gitu? Biar dikasih obat anti mual atau gimana.”
Davin perlahan membuka matanya, menatap wajah kucel Vina dengan anak rambut yang berantakan. “Kakak pulang aja, mandi, makan. Gue sendiri enggak apa-apa, kok. Papa bentar lagi juga dateng.”
“Enggak usah mengalihkan pembicaraan, Dav. Kakak enggak akan pulang sebelum kamu makan dan minum obat.”
Davin menghela napas. Ia pada akhirnya mengangguk. Pelan, lelaki itu mencoba membangunkan tubuh. Davin mengambil menu makannya yang dari melihat saja sudah dipastikan bagaimana hambarnya. Dengan setengah hati, lelaki itu mulai memakannya sesuap demi sesuap.
“Kakak yakin enggak enak, tapi kamu tetep harus makan.” Vina berkomentar, meringis memandangi adiknya yang makan sembari menahan mual. Pasti sangat tidak nyaman. Vina menyentuh lengan Davin, merasakan suhu panas pada permukaan kulit adiknya. “Kamu kayaknya demam juga, deh. Normal enggak sih kalau kayak gini? Kakak jadi was-was mulu bawaannya.”
“Kata dokter emang efeknya bisa begini. Gue juga enggak tau.” Davin kembali meletakkan piring makannya di atas nakas. Ia bahkan baru menghabiskan tak sampai lima suap. Lelaki itu menutup mulut ketika rasa mual kembali menyiksanya.
“Kakak panggilin dokter aja, ya, Dav?” ucap Vina sembari mengusap tengkuk adiknya. Ia tak mendapat jawaban apa pun hingga sang adik kembali menjatuhkan tubuh lemasnya pada ranjang. Tanpa menunggu jawaban Davin, Vina bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar ruangan.
Vina menyandarkan tubuh pada pintu usai menutupnya. Gadis itu membiarkan air mata yang sedari tadi memupuk di pelupuk mata jatuh begitu saja. Namun, segera Vina menghapusnya. Menjadi cengeng pada saat-saat seperti ini bukanlah keputusan yang bijak. Yang Davin butuhkan darinya saat ini adalah kekuatan.
***
Gilang melempar bola pada Revan yang tengah duduk di kursi pinggir lapangan basket. Revan menerimanya, tetapi tak berniat memainkannya hingga bola orange itu ia gelindingkan ke kolong kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance✔️
Ficção AdolescenteDavin selalu bertanya pada Tuhan, "Apa kalau saat itu aku nggak minta Mama dateng, Mama bakal masih ada sampai sekarang?" Sebab, harinya tak pernah lekang dari kalimat penuh kebencian yang kakaknya lontarkan. Mencacinya yang pernah begitu egois, men...