01: Menolong

49 5 1
                                    

“Terkadang kamu sering menghina seseorang karena fisiknya, terkadang juga kamu tak sadar bahwa kamu ternyata lebih buruk dari apa yang kamu kuncilkan.”

—Arabella.

🖤


Arvian berjalan di koridor sekolah, dia tersenyum kepada beberapa orang yang ia kenal. Namun, tetap saja ia merasa sedih ketika melihat sebagian dari mereka menatapnya menjijikkan. Tapi, ia berusaha untuk tak peduli tentang apa yang mereka katakan. Ia memang berbeda dari mereka, tapi ia berusaha untuk biasa saja. Tak peduli apa yang mereka katakan, yang penting ia menjadi dirinya sendiri kan?

Arvian masuk ke dalam kelas, lalu duduk di bangku yang berada di barisan tengah. Pria itu menyandarkan kepalanya di atas meja, merasa pusing ketika memikirkan apa yang terjadi akhir-akhir ini dalam hidupnya. Arvian terkadang merasa lelah, tapi ia selalu berusaha untuk tidak menyerah.

Di saat ia mulai tenang, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya. Arvian refleks langsung mengangkat kepalanya, menatap Rio yang kini sedang menatapnya dengan tajam, melihat penampilan Arvian, lalu menggebrak meja dengan penuh amarah.

Sedangkan Arvian, tetap diam, ini sepertinya sudah terlalu sering ia rasakan.

“Dengan penampilan lo yang kayak gini, masih berani deketin adik gue?”

Sekarang, banyak tatapan mata menatap kearah mereka. Kecuali, satu orang yang sedang menyandarkan kepalanya di atas meja. Itu Arabella yang berusaha untuk tidur kembali tapi tidak bisa, Rio menggebrak meja dengan keras, membuat gadis itu kaget dan terbangun dari tidurnya.

Arvian berusaha untuk tetap tenang, ia tak ingin mendapatkan masalah, apapun yang terjadi ia akan berusaha menghadapinya dengan tenang, tak ingin terbawa emosi.

“Memangnya apa yang salah dengan penampilan saya?”

Arvian bertanya dengan santainya, sedangkan Rio tertawa mendengar pertanyaan teman sekelasnya itu. Arvian tau mengapa Rio tak suka ia mendekati Risa, karena ia memiliki kelainan pada kulitnya. Ia memiliki penyakit kulit bersisik yang membuatnya terkadang di pandang sebelah mata.

Beruntungnya, ia memiliki Andri. Sahabatnya dari kecil sampai sekarang yang selalu ada untuknya, merangkulnya di saat orang lain meninggalkannya.

“Apa lo gak bisa lihat? Lihat kulit lo yang bersisik itu, apa gue bakal mengizinkan adik gue deket sama orang yang biasa dipanggil siluman ular yang menyedihkan?”

Rio mengatakan itu tanpa merasa bersalah, tapi Arvian mencoba bersabar menghadapinya. Ia tak mau mendapatkan masalah yang membuat beban pikirannya bertambah.

“Setidaknya saya gak seperti kamu, yang hanya menilai seseorang dari penampilannya saja,” jawab Arvian yang memancing emosi Rio.

Rio yang sudah merasa marah langsung menarik kemeja laki-laki itu.

Bugh!

Bugh!

Sudut bibir Arvian terluka karena pukulan yang dilayangkan Rio. Beberapa orang yang melihatnya hanya terdiam kaget, ada juga yang ingin membantu Arvian tapi tidak berani. Semua orang hanya terdiam di tempat duduknya masing-masing.

Lalu tiba-tiba...

Bugh!

Suara pukulan terdengar, tapi kenapa Arvian tak merasakan apa-apa? Pria yang tadi menutup matanya itu langsung membuka matanya perlahan-lahan, terkejut ketika melihat sudut bibir Rio juga terluka sama sepertinya. Tapi siapa pelakunya?

“Sialan! Berani banget lo ya!”

Rio menatap tajam seorang wanita yang berada tepat di hadapannya. Arvian mengikuti arah pandang Rio, terkejut ketika melihat raut wajah Arabella yang tidak merasa bersalah sama sekali setelah apa yang ia lakukan pada Rio.

Byur!

Semua terkejut seketika, ketika Arabella menyiram Rio dengan air. Perempuan itu tersenyum lalu berkata, “Mulut lo kotor, harap dibersihkan dulu sebelum berbicara.”

Aksi berani Arabella membuat kebanyakan dari mereka kagum kepadanya, bagaimana tidak? Ia satu-satunya perempuan yang berani memukul Rio yang kasar.

Rio berdiri dari duduknya, bergerak mendekati Arabella. Namun, Arabella tak gemetar sama sekali ketika ia tau Rio mungkin mau menjambaknya.

“Dasar lo—”

“Lo harusnya sadar diri dong, orang penyakitan kayak lo mana bisa menyaingi gue? Apalagi mau deketin adik gue. Emangnya lo punya apa?”

“Kalau lo masih ngotot mau deketin Risa, urusan lo sama gue. Paham?”

Belum sempat Rio menyelesaikan kalimatnya, Arabella menunjukkan sebuah rekaman di mana Rio memukul Arvian di tempat yang sepi bersama dua orang temannya.

Rio bungkam, bagaimana bisa Ara merekam itu? Padahal Rio merasa tidak ada orang lain lagi di sana.

“Lo bisa gak bayangin saat gue kasih rekaman ini ke Risa? Ah, pasti dia bakal marah besar. Kedengarannya seru, ya. Apa harus dicoba?”

Arvian terkejut, ancaman Arabella membuat Rio bungkam seketika. Kenapa ia tidak kepikiran untuk melakukan hal itu?

“Risa pasti terkejut ketika tau, kakaknya yang mengatakan setuju jika ia dengan Arvian, sebenarnya malah membuat Arvian menjauh darinya.”

Rio mencoba meraih ponsel Arabella, ingin menghapus rekaman itu segera. Namun, sayangnya, Arabella menghindar dengan sangat cepat.

“Kalau mereka, yang ada di sini sekarang mungkin menurut lo akan tutup mulut, mungkin iya. Tapi itu gak berlaku buat gue, karena apa untungnya gue tutup mulut kayak mereka?”

Ucapan Arabella sontak membuat seisi kelas bungkam. Ya, mereka selama ini tau bagaimana Rio memperlakukan Arvian. Namun, mereka hanya diam, takut akan ancaman Rio.

“Gue emang kejam, kasar, sama kayak lo. Tapi gue gak sekejam orang yang cuma diem aja di saat temannya yang selama ini selalu baik ke dia, dipukuli terus menerus padahal ia salah apa? Dia salah apa ke lo dan mereka yang ada di sini sekarang?”

Jleb!

Ucapan Arabella menusuk ke hati mereka, mereka menundukkan kepalanya, tersadar akan apa yang mereka perbuat selama ini. Memang benar, Arvian selalu baik kepada mereka, walau perbuatan mereka kepadanya memang seperti itu.

“Dan terakhir, gue emang gak punya temen. Tapi, gue gak memandang orang cuma dari fisiknya aja.”

Rio terdiam, ia sadar dulu Arvian memang terkadang sering membantunya saat ia kesusahan. Tapi apa balasan dari kebaikan Arvian selama ini?

“Rio!”

Semua orang mengalihkan pandangannya, menoleh ke sumber suara, berbisik-bisik membicarakan apa yang akan terjadi nantinya?

Sebelah MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang