Ini adalah kali pertamanya mendengar kakaknya, Doyoung mengikuti kegiatan ilegal. Judi? Rendahan sekali. Malah lebih rendah daripada taruhan yang Jaemin lakukan. Walaupun, hampir sama konteksnya.
"Hari itu juga, kakak minta uang darimu. Itu untuk membayar hutang judi juga."
"Aku tidak bisa mengatasinya, dek. Mereka menaikkan bunga setiap hari...!"
Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Baru saja uang mereka habis untuk membayar tagihan rumah sakit, sekarang mereka tidak punya tempat tinggal. Baru saja Jaemin sembuh dari musibahnya, sekarang musibah lain datang. Namun, Jaemin berusaha tenang menanggapi semua yang terasa begitu tiba-tiba ini. Untuk sekali ini ia memaafkan kakaknya, tetapi sebagai gantinya mereka berdua harus sama-sama bekerja. Dan kemungkinan, Jaemin harus menyerah akan sekolahnya dan mimpinya.
Menjadi miskin tiba-tiba merupakan sebuah nasib yang tidak pernah diduga maupun diharapkan. Apalagi tiba-tiba hidup menjadi gelandangan, tanpa rumah dan minim keuangan.
Hari ini, Jaemin kembali bersekolah setelah kepulangannya dari rumah sakit. Kemungkinan hari terakhir bersekolah; karena tidak ada yang tahu ke depannya bagaimana nasibnya. Kemampuannya menyerap pelajaran juga tidak begitu bagus, tetapi setidaknya Jaemin telah mencoba. Ia berjalan melewati lorong-lorong sekolah, menaiki tangga, sampai duduk di bangkunya, murid-murid lain menyorakinya sebagai seorang petarung yang akan melawan seorang Lee Jeno lagi. Tetapi, akankah Jaemin kembali bertarung demi uang lagi?
Nyatanya tidak.
Jaemin tidak menerima taruhan lagi. Ucapan murid lain yang membujuknya untuk bertarung juga tidak dihiraukan, uang-uang yang diberikan di depan wajahnya tidak diterima, sehingga membuat dirinya yang semula mendapat pujian, sekarang mendapat hujatan. Ujaran kebencian mulai dari Jaemin yang tidak lagi sekuat dulu, sombong, dan gengsi karena tidak mau menerima uang lagi. Sejujurnya, Jaemin juga sudah lelah berkelahi dan terluka. Jadi, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk pensiun. Seketika, karena keputusannya ini Jaemin menjadi seorang yang tidak disegani murid satu sekolah--kecuali Haechan dan Jeno, meskipun dengan Jeno tetap harus berakting mereka bermusuhan.
"Oi, Jaemin." panggil sebuah suara dari sebuah pertigaan lorong.
"Oh, kamu. Kenapa?"
"Ke mana aja kamu?"
Jaemin tidak menjawab dan langsung beranjak pergi. Beruntung si Haechan tidak mengikutinya. Sepertinya setelah ini Jaemin tidak punya teman lagi.
Sampai detik ini, ia bahkan tidak tahu wajah selingkuhan Mark--mantan kekasihnya--seperti apa. Pada dasarnya memang tidak peduli, untuk apa? Pedulinya sekarang hanya mencari uang untuk hidup.
Sepulang sekolah, Jaemin mengabaikan murid satu sekolah yang membicarakannya. Ia melangkah menuju kantor guru sembari membawa kertas berisikan pernyataan pengunduran dirinya dari sekolah.
"Saya mau mengundurkan diri, Pak." ucapnya kepada kepala sekolah.
"Akhirnya. Sebuah kesadaran dari Na Jaemin."
Respon yang sangat tidak terduga dari kepala sekolah. Sangat spontan dan frontal. Jaemin tetap menundukkan kepalanya mendengarkan celotehan kepala sekolah; mengenai perilakunya, perkelahiannya, dan nilainya yang tidak bagus dalam pelajaran.
"Kamu memang pantas keluar dari sekolah." ucapnya lagi, "Pengunduran diri diterima. Semoga kamu sukses dengan nilai jelekmu itu ya."
Tangan Jaemin mengepal, rasanya ingin sekali memukul kepala sekolah itu. Namun, ia tidak mau memperpanjang masalah. Urusannya di sekolah sudah selesai, kini waktunya fokus bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nemesis [JenJaem/NoMin/others]
Fanfiction[ WARNING! 🔞 ] Contains: sadist, violence, gore, sexual, harsh word, jaemin!harem Cerita ini tidak akan difokuskan bagaimana Jeno dan Jaemin akan berkenalan dan jatuh cinta kepada satu sama lain. Tidak. Tapi, mereka akan menjadi musuh bebuyutan. Ak...