Bab 4. Simpati

37 33 12
                                    

Syila mencoba merekam pemandangan di depannya menggunakan ponselnya. Ia berpikir nanti akan kembali ke tempat itu untuk merekam menggunakan kameranya, pasti akan sangat indah.

Pemandangan seperti itu memang selalu Syila idamkan. Hidup di antara pepohonan dan alam. Rasanya hidupnya akan tenang jika tinggal di antara rindangnya pepohonan ditambah adanya sungai kecil seperti yang sekarang dilihatnya.

“Suka sama ketenangan, yah?” tanya Rangga yang memperhatikan Syila memandang takjub ke sungai di depannya.

“Iya.”

“Biasanya orang yang suka alam kayak gini, orang yang nggak suka hidupnya terusik sama hiruk pikuk dunia.”

Syila menoleh ke arah Rangga. “Emang iya?”

“Nebak doang sih, haha”

“Kirain beneran dari survey ilmuan gitu.”

“Ya elah serius amat, neng!”

Syila hanya tertawa pelan mendengar jawaban Rangga. Ngomong-ngomong tentang merokok, Syila jadi penasaran sudah berapa lama Rangga merokok? Apa Rangga punya alasan tersendiri untuk merokok. Seperti pelarian gitu?

Biasanya yang ia tahu orang-orang yang merokok memang karena butuh ketenangan dan pelarian atas sesuatu yang tak sanggup ia hadapi. Ini yang biasa Syila dengar sih. Biasanya juga Syila tidak pernah penasaran dengan alasan mereka.

Entah mengapa kini mendadak ia penasaran dengan yang dirasakan Rangga. Apa Rangga memiliki masalah? Kenapa rasanya Syila ingin tahu banyak hal.

“Kenapa natap gue gitu?”

Syila kaget dengan ucapan mendadak Rangga. Ia tidak tahu kalau Rangga mengetahuinya yang melamun menatapnya. Syila sendiri juga tidak sadar telah menatap Rangga seperti itu.

“Muka gue ganteng, yah?” goda Rangga.

Syila kikuk ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya tersenyum canggung.

“Bercanda kok, serius amat.”

Hening. Keduanya lalu saling diam tanpa adanya pembicaraan lanjutan. Syila pun memutuskan untuk kembali ke vila. Siapa tahu Rania sudah balik dari kencannya. Awas saja nanti ia akan mengomel pada gadis itu.

“Rania belum balik?” tanya Syila yang hanya mendapati Arkan di ruang tengah.

Rangga pun menyusul Syila dari belakang dan ikut bertanya pada Arkan. “Kayaknya gue perlu susulin itu si Iyan, baru dateng malah udah kabur aja.”

“Ngapain lo mau nyusulin gue? Alesan doang kan? Paling juga mau ke rumah Mamang buat apelin anaknya.” Iyan datang bersama Rania dari belakang.

“Wah lo emang tau banget tentang gue, Yan, kayaknya lo saudara gue yang hilang sejak bayi, yah?”

“Dih, ogah gue sodaraan sama lo!”

Rania datang menghampiri Syila yang langsung dihadiahi pelototan olehnya. Rania hanya nyengir kuda ditatap seperti itu oleh sahabatnya. “Siapa Mamang?” tanya Syila berbisik.

“Yang ngurusin vila ini, orang kepercayaan papanya Arkan.” Syila hanya ber-oh ria mendengar penjelasan singkat Rania.

“Arkan kamarnya yang biasa, kan?”

Syila heran mendengar Rania berbicara kamar. Bukannya mereka hanya mau sehari dan bukan menginap. Kenapa harus ke kamar? Sepertinya ia butuh penjelasan Rania.

Arkan hanya mengangguk merespon ucapan Rania. Rania langsung membawa tasnya ke dalam kamar dan disusul oleh Syila yang tak tahu apa-apa.

Rania langsung merebahkan badannya di kasur. Sepertinya ia tidak memberikan penjelasan apa pun pada Syila. Hampir saja Syila menimpuk wajah Rania dengan bantal, tapi melihat wajah lelah sahabatnya ia jadi tidak tega.

Maaf, Aku Belum Mencintaimu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang