Author POV
Sudah satu jam Dian berdiri dibawah terik matahari. Keringat di punggungnya terasa mengalir bukan main. Wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus itu dikipas-kipas oleh telapak tangan.
"Jangan gerak!"
Dian memposisikan tangan dan mengontrol ekspresi wajahnya yang hampir mengernyit karena silau setelah mendengar titah seorang laki-laki berambut gondrong, tapi cakep.
Oke. Tahan. Sebentar lagi.
"Pashminanya naikin, terus tangan kanan kamu turun sedikit!"
Dian membetulkan pashmina yang dikenakannya karena melorot dari bahu.
"Nah, gitu. Tahan.. tahan.. satu, dua, tiga.."
Abis ini badan gue pasti bau matahari. Batin Dian.
Bukan. Dian bukan dihukum dosen. Bukan juga acting film. Dia sedang pemotretan. Pakaian yang serba hitam membuatnya gerah dan tidak nyaman.
Sebenarnya, bisa saja mereka melakukan pemotretan di studio. Tapi, jadwal Dian di kampus sangat padat sehingga ia mengajak sang fotografer untuk pemotretan di gedung kampus, yang aesthethic, setelah diizinkan Jihan.
Jihan itu pemilik brand dari abaya yang Dian pakai.
Berbicara soal pekerjaan. Sudah empat bulan Dian menjadi brand ambassador abaya milik Jihan. Dian sangat senang ketika diminta untuk pemotretan, terutama ketika menerima gaji pertama dihidupnya. Selain karena tingginya cukup, Jihan memilih Dian karena dia memiliki attitude yang baik.
Jihan juga tidak terlalu mementingkan standar wajah untuk dijadikan model, meskipun Dian memang cantik, karena semua hasil foto akan di edit agar wajah model tak terlihat. Terkadang di blur, ditutupi stiker, atau memakai properti khusus saat pemotretan.
Selama empat bulan itu, sebelum hari ini, ia mendapat partner fotografer yang tidak banyak mengatur, simple, dan kerjanya cepat, ramah pula. Sayangnya, fotografer itu mulai sibuk menyusun skripsi. Sehingga peran-nya digantikan oleh Ariq, laki-laki yang sedang memegang kamera DSLR dihadapannya. Dian merasa kurang nyaman, entah kenapa. Tapi, ia akui Ariq memang ahli dalam bidang ini.
Ini bukan kali pertama mereka melakukan pemotretan. Tapi, es batu seperti Ariq sangat sulit mencair, bahkan di bawah terik matahari sekalipun!
Dian yang cerewet jadi segan kalau berhadapan dengannya.
"Sip, selesai. Thank you!", Ariq melihat foto terakhir yang dipotretnya.
"Alhamdulillah selesai juga, ya, Kak. Panas banget ga sih, Kak? Btw, aku duluan, ya. Nanti kalau Kak Jihan nanyain, tolong bilangin aku ada kelas jam satu", Dian pamit sekaligus memberi penjelasan. Tak lupa ia menggendong ranselnya.
"Hmm...", respon singkat dari si gondrong, tanpa menoleh.
Dingin. Macam kulkas minimarket.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam... Hati-hati"
"Hmm...", balasan Dian saat ucapan terakhir Ariq terdengar samar.
Ariq yang mendapat respon tersebut hanya menggelengkan kepala, lalu menatap punggung gadis itu semakin menjauh.
°°°
Setelah menginjakkan kaki di lantai masjid, Dian baru bisa bernapas lega.
Adem banget ya Allah. Alhamdulillah. Batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sekampus (On Going)
RomanceJatuh cinta identik dengan sebuah rasa yang menggebu-gebu. Bagi Rayyan, jatuh cinta itu mudah, yang belum ia rasakan adalah jatuh hati. Hampir semua laki-laki sulit menundukan pandangan mata. Bagi Dian, menahan lisan itu mudah, namun sangat sulit m...