"Hati-hati anak Bunda"
Teriakan Dwi terdengar sampai ruang makan di rumah itu. Dua laki-laki yang tadinya asyik ngobrol tiba-tiba berhenti. Seolah-oleh teriakannya menyuruh mereka diam.
"Suara Bunda gue itu.. pasti karena adek gue sudah pergi" jelas Rio, seakan-akan tahu alasan Rayyan terdiam.
Rio itu masih suka pake bahasa formal kalau bicara bahasa Indonesia, sama kayak Ayahnya. Kalau Dian, logatnya udah mirip Dwi, Indonesia banget.
Rayyan manggut-manggut paham.
"Gue baru tau kalau lo punya adik, Bang"
"Iya lah, kan baru pertama kali lo mampir ke rumah. Selama di pesantren yang kita obrolin hanya seputar akidah sama fiqih, hahaha jadi mana sempat cerita tentang keluarga"
"Iya juga, hahaha. Adik lo sekolah dimana, Bang?"
"Dia sudah kuliah" ucap Rio sembari menggigit paha ayam.
"Seumuran kali sama lo" kata Rio.
"Oh iya? Cantik ga, Bang? Kuliah dimana dia?"
"Wah, adik gue harus jauh jauh dari cowok kayak lo. Belum apa apa udah nanya fisik" ucap Rio, dia tertawa.
"Bercanda, Bang. Semua cewek kan emang pada dasarnya cantik. Kalau ganteng kan gue"
Rio melempar tulang ayam ke piring Rayyan yang sudah bersih tak bersisa.
See? Masakan Dian dan Rio gak pernah gagal.
"Diandra namanya, dia baru semester 3, sebagai Kakaknya, gue akui dia cantik, agak nyebelin aja kadang-kadang" jelas Rio.
Rayyan mengerutkan dahi. Barusan gak salah denger kan? Apakah dunia se-sempit itu?
"Diandra?" Rayyan mengulang nama yang disebutkan oleh Rio.
"Iya, Diandra.. nama belakangnya sama kayak gue, Lee. Diandra Lee"
"Gue sekampus lho sama dia" aku Rayyan.
"Ah, masa? Kalian temenan? Kok bisa kenal?" Rio penasaran.
"Gak temenan juga sih, belum lebih tepatnya. Kita gak sengaja ketemu waktu wawancara CREATE!"
"Oh.. Lo masih ngurus komunitas itu? Gedungnya yang dibangun Abi Farhan kan?"
"Iya"
Rio tahu tentang komunitas CREATE!. Selama di pesantren, ketika mereka belajar, Rayyan selalu mengungkapkan niat baiknya setelah lulus dari pesantren. Rio juga sudah kenal dengan Abinya Rayyan, orang yang mengajarnya mengaji selama 2 tahun dirinya menjadi santri.
Di pesantren itu, Rio mengambil kelas yang tidak mengharuskannya tinggal di asrama. Ia mengikuti program pesantren yang hanya dilakukan lima pertemuan dalam satu minggu, itupun waktunya fleksibel, jadi bisa sambil kuliah. Berbeda dengan Rayyan yang sejak kelas 1 SMP hingga kelas 3 SMA mengenyam pendidikan penuh di sekolah yang ada di pesantren tersebut.
Kalau kalian bingung dengan program dan sistemnya. Bayangkan saja Pesantren Daarut Tauhiid yang ada di Bandung. Lebih kurang sama.
"Bang, kita foto, yuk!" ajak Rayyan, yang kini laki-laki itu sudah merangkul bahu Rio.
"Gue cuci tangan dulu"
"Gak usah, kan yang di foto muka, bukan tangan"
Cekrek.
Rayyan menekan tombol di ponselnya. Lalu, tampaklah dua orang di dalam layar itu. Rayyan terlihat gembira dengan senyum yang lebar, sedangkan ekspresi Rio masih belum siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sekampus (On Going)
RomantizmJatuh cinta identik dengan sebuah rasa yang menggebu-gebu. Bagi Rayyan, jatuh cinta itu mudah, yang belum ia rasakan adalah jatuh hati. Hampir semua laki-laki sulit menundukan pandangan mata. Bagi Dian, menahan lisan itu mudah, namun sangat sulit m...