lembar 4

16 4 0
                                    

Malam semarak, merupakan sebuah event yang diadakan setiap malam senin tepat jam sepuluh malam di taman kota.

o0o

Kursi-kursi sudah penuh terisi, hanya menyisahkan barisan paling belakang sendiri. Kaluna yang sudah terlanjur hadir, menghampiri kursi tersebut.

Kursi yang tak ada sekat sama sekali itu, membuat lengan Kaluna membentur lengan seseorang di sampingnya.

Kaluna menolehkan kepalanya, "Ino.." gumam kaluna, sangat pelan.

Kaki yang sengaja Kirino angkat dan ia sangkutkan pada punggung kursi di depanya itu menjadi tumpuannya untuk menyembunyikan parasnya dengan kedua tangan sebagai benteng, agar orang lain tak melihat kerapuhanya ditengah keramaian yang ada, membuat Kaluna sempat berpikir untuk memberikan pelukan hangat layaknya hari-hari lalu.

Kaluna yang tak tahu ingin berbuat apa, hanya diam menunggu. Menunggu malam semarak melangsungkan pertunjukannya, dan menunggu Kirino menunjukkan dirinya.

Tepat jam Sepuluh Malam. Semua bermunculan. Langit dengan ornamen bintang itu, menjadi sangat ramai. Kilatan api yang memecah ketika diatas langit, gelembung-gelembung yang mengudara, wangi bakso bakar yang menyeruak, semua bercampur menjadi satu. Meneriakan kebahagiaan dan kebebasnya masing-masing.

Seiring dengan bunyi kilatan api yang semakin gaduh, Kirino menampakan parasnya. Ia memandangi langit dahulu, sebelum ia menancapkan tatapannya pada seseorang yang pernah menguasai hari-harinya.

Kaluna terlalu jatuh pada malam yang menimpa Jogja sedari tadi, hingga ia tak sadar ada sepasang mata yang tak lepas darinya.

"Mamah kambuh Ann,"

Kaluna menoleh, memancarkan raut penuh tanda tanya. Mengapa? Mengapa harus kepada Kaluna? Kaluna sudah tak berhak mendengar bukan?

Walau jauh didalam hati, Kaluna menghawatirkan sang Ibunda.

"Ya?" Tanya Kaluna, dan yang ditatap hanya melempar bola mata penuh sendu.

"Mamah marah, semua kena banting,"

Kaluna membiarkan Kirino meneruskan penggalan kalimatnya.

"Aku luka, mamah tetep gamau berhenti," memang goresan dan darah kering itu melekat pada salah satu sisi paras Kirino.

"Mamah nangisin aku, l-lagi.." ucapan Kirino sedikit demi sedikit bercampur dengan isak tangis, membuatnya sulit untuk meneruskan kalimat dengan lancar.

"Padahal aku selalu di sisi ma--mah.."

"Ak--"

Awalnya Kirino tak ingin, ia tak ingin menumpahkan semuanya kepada Kaluna.

Tetapi, semua kebiasaan itu tak hilang. Dimana Kirino bisa menjadi dirinya sendiri di depan Kaluna.

Kirino dengan kelemahanya, Kirino dengan semua tangisnya, Kirino dengan pikiran kalutnya, bersulut menjadi satu. Tertuang di hadapan Kaluna, seperti dahulu, dan keluhan itu selalu sama. Mamah dan Mamah.

Kaluna menghela nafas berat, sengaja memotong kalimat Kirino, "lalu apa urusanya denganku, tuan Kirino Isha Khalil?"



=

Jangan lupa tekan bintangnya ya

Kaluna: tidak ada yang lain.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang