lembar 6

14 4 0
                                    


"Aku dulua---"

"Aku anter."

"Gau--"

"Permintaan Mamah sendiri."

Mau tak mau, Kaluna menyetujuinya. Lagi pula hari sudah malam, bahaya jika Kaluna pulang sendiri.

Kaluna menaruh raganya tepat di belakang Kirino. Tanpa berlama-lama Kirino menghidupkan motornya dan segera melajukan motornya.

Di tengah perjalanan Kaluna menahan dirinya sendiri untuk tidak berhambur pada punggung gagah di depannya.

Wangi itu, masih sama. Kaluna ingat.

Raga Kaluna tertarik untuk memberikan pelukan hangat, sedang akal nya berkata tidak. Sungguh, Kaluna membenci dirinya jika sudah lengah dengan lelaki di depannya ini, dengan hal sekecil apapun.

Lantas Kaluna mengalihkan pandangannya ketika mereka berhenti tepat saat lampu lalu lintas kini menunjukan warna merah.

"Mau mampir kemana?" Tanya Kirino tanpa melihat Kaluna.

"Buat apa?"

"Makan."

"Terserah."

"Yang biasanya mau?"

"Yaudah gapapa," ucap Kaluna, entah biasa yang Kirino maksud itu dimana.

Kirino melesatkan motornya, lalu berhenti di sebuah gubuk kecil dengan meja kayu di depannya yang berisi beberapa baskom besar penuh lauk dan pelengkapnya.

Satu lampu dengan penerangan yang sangat bagus di tambah penjual yang ramah dan tentunya makanan yang mereka jual sangat nikmat, membuat siapapun rela antri panjang demi mendapatkannya.

"Mau tunggu di motor apa ikut?" Tanya Kirino setelah memarkirkan motornya, dilihatnya antrian cukup panjang.

"Ikut." Kirino mengganguk, lalu mempersilahkan Kaluna jalan terlebih dahulu.

Kini mereka dilanda kerinduan, kerinduan akan suasana malam Jogja, berdiri di antrian panjang hanya untuk sepiring makanan khas Jogja itu.

Hampir setiap minggu malam tentunya sebelum mereka usai, tempat ini selalu menjadi tempat makan favorit mereka. Karena menurut mereka, hal yang paling seru adalah berdiri di antara banyaknya pembeli lalu Kirino dengan kejahilannya dan Kaluna dengan tawanya yang mengudara di bawah dewa malam.

Indah, sangat indah. Hanya mendengar Kaluna tertawa karena lelucon sampah Kirino itu sudah lebih dari cukup untuk mengobati beban yang Kirino punya.

Cukup lama terdiam dengan pikiran mereka masing-masing, Kirino mengulurkan jaketnya kepada Kaluna.

"Pake, angin malam cuman bikin kamu sakit."

Belum sempat Kaluna menolak, Kirino sudah melayangkan tatapan tajam yang berarti tidak ada penolakan.

Kaluna yang sedari tadi menahan angin malam segera membalut dirinya dengan jaket Kirino.

Hanya jaket Kirino bertengger pada raga Kaluna saja, semua itu terasa nyata. Pelukan hangat itu, serasa hinggap pada raga Kaluna.

"Dibungkus apa disini?" Tanya Kirino ketika tersisa satu antrian saja.

"Enak dimakan disini sebenernya."

"Tapi ini udah jam setengah dua pagi, gausah aja ya."

"Yaudah, dibungkus aja."

Setelah mendapatkan apa yang mereka mau, Kaluna dan Kirino begegas menuju parkiran. Lalu melanjutkan perjalanan pulang.

Rumah dengan warna hijau muda kini sudah menyapa Kirino dan Kaluna. Kaluna lekas turun dari motor Kirino.

"Nona Ann." Panggil Kirino ketika setengah raga Kaluna memasuki pagar.

Lantas Kaluna berbalik, "Ya?"

"Terimakasih."

"Sama-sama." Setelah membalas senyum Kirino, Kaluna segera memasuki rumahnya dan Kirino melajukan motornya.


=

Jangan lupa tekan bintangnya ya

Kaluna: tidak ada yang lain.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang