lembar 17

7 3 0
                                    

—happy reading






Gedung berwarna putih itu menyambut Kirino, lagi. Langkahnya gelisah, berlari dan terus berlari menuju ruangan atas.

"Sus, Mama kenapa? Mama baik-baik aja? Sekarang Mama dimana?" Tanya Kirino tanpa henti.

"Di ruangannya, biarkan Mama dahulu. Saya panggilkan dokter."

Suster itu menghilang, seperti memberi kesempatan agar Kirino bisa menjenguk Mamanya, walau sempat diperingati agar tidak bertemu dahulu.

Tetapi, siapa yang tidak akan khawatir jika salah satu orang penting dalam hidupnya berteriak dan menangis histeris, meneriakan nama anak kesayangannya tanpa henti, menjambak rambutnya kencang-kencang.

Kirino menelusuri lorong untuk mencari pintu ruangan Mamanya. Sudah berkali-kali ia diterjang beberapa orang yang berlalu-lalang di lorong gedung berwarna putih bersih ini, Kirino tidak peduli. Sekarang yang ia pikirkan hanya Mama.

Kakinya membeku, pandanganya lurus pada ruangan dengan nomor 203 itu. Disana terdapat perempuan dengan baju berwarna putih gading yang selalu Kirino sebut Mama itu sedang menangis, lalu tertawa, dan ia menjambak rambutnya berkali-kali.

Perih. Kirino sudah melihat ini berkali-kali, tetapi rasa sakit itu masih menjalar di dalam raga. Dadanya kembali sesak ketika mengingatnya.

Perempuan itu menyuarakan nama anak kesayangannya. Ino, dan Ino. Mencari kemana anak kesayanganya itu, lalu menangisinya. Padahal, yang ia panggil selalu berada di dekatnya.

Mama semakin menangis keras, memainkan bantal ranjangnya lalu melempar ke sembarang arah, memanggil Ino berulang kali.

Perbuatan itu membuat Kirino melangkahkan kakinya ke dalam ruangan Mamanya, lalu memeluknya erat, "Mama, ini Ino."

"Bukan! Tidak usah mengaku-ngaku! Tidak usah menangis!"

"Ma–ma...ini Ino Ma..." Ucap Kirino sambil menangis, biar saja Mamanya itu memberontak dalam dekapnya. Biar saja, Kirino rindu pelukan Mamanya.

"Kirinoku tidak cengeng!"

Kirino tidak melepaskan pelukan itu, dan Mamanya semakin memberontak. Menarik rambut Kirino sambil berteriak keras.

"Anakku dimana?! hiks dia harus pulang! Tidak boleh bermain sore hari hiks, MAMA TAKUT!! KIRINO!!"

"DISINI! DI DEPAN MAMA!!" Ucap Kirino berteriak, meluapkan semua yang ia pendam.

"BUK—"

"Kirino, sudah. Keluar dari ruang Mama."

Kirino keluar dari ruangan tersebut dengan air mata yang mengalir deras di pipinya sambil tanganya di tarik paksa oleh seorang suster untuk meninggalkan Mamanya yang masih saja menangis tersedu.

Setelah keluar dari ruangan Mamanya, Kirino berjalan keluar seraya menundukkan kepalanya, seperti tidak punya semangat hidup.

Namun, belum sempat ia meninggalkan lorong ruangan Mamanya. Kirino dibuat terkejut akan kehadiran Kaluna.

"No, Mama gimana? Tadi aku di kasih kabar suster. Kamu luka ga? Mama banting sesuatu ga? Mama kena–"

Grep!

Kirino tidak peduli dengan Kaluna yang menyandang status mantan baginya, yang ia butuhkan saat ini adalah Kaluna. Jika pun ada Jean disini, Kirino tidak peduli, ia akan tetap memeluk Kaluna erat dan menumpahkan semuanya.




...


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kaluna: tidak ada yang lain.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang