Di hari pertamanya bersekolah, Nicole Jenkins mendaftarkan diri untuk bergabung dalam ekstrakurikuler teater atas saran Rory Silva, cinta monyet masa kecilnya.
Selain dapat menghabiskan waktu bersama Kesatria Berkuda Putih yang tampan, ia juga harus...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Communication is the key. I see ...," gumamku.
Aku bergeming sejenak, berusaha merenungi perkataan Nat. Keheningan meliputi kami, hanya terdengar samar-samar bunyi musik dan suara langkah kaki. Setelah menimbang-nimbang, sepertinya aku memang harus berbicara dengan Ajay dan Rory secepat mungkin.
Kebetulan sekali. Di pertigaan koridor, kami bertemu Ajay yang sedang berjalan dari arah kamar mandi. Kami bertiga berhenti, saling melirik dan entah mengapa suasana mendadak canggung.
"Hey, Nicole, aku mencarimu ke mana-mana. Boleh aku bicara?" tanya Ajay tiba-tiba, kemudian ia melirik Nat. "Empat mata?"
"Oh, right. Kalau begitu ... aku akan pergi menyusul Aiden." Nat langsung paham dengan keadaan. Ia menyikut lenganku sambil mengedipkan mata. "Well, good luck, Nicole!"
Baru saja ingin membuka mulut untuk protes, gadis itu sudah berbelok dan berjalan cepat meninggalkan kami. Aku mengembuskan napas berat, lalu melirik kedua netra pemuda itu di balik kacamataya. Mendadak, jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Aku butuh udara segar. Mengobrol di belakang rumahmu bukan ide yang buruk 'kan?" ujar pemuda itu sambil berjalan. "Let's go!"
Aku menurut saja, kemudian berjalan mengekorinya. Kedua tungkai kami bergerak menuju halaman belakang. Di sini minim pencahayaan dan bunyi musik. Cukup hening, hanya terdengar bunyi jangkrik dari arah semak-semak. Kami duduk di tangga kecil yang memisahkan area rumah dengan tanah berumput. Angin sejuk di malam hari membelai wajahku.
Sudut mataku menangkap jendela rumah sebelah yang tertutup tirai, tepatnya jendela yang berhadapan langsung dengan kamarku. Lampunya padam, menandakan Rory tidak sedang berada di kamarnya. Kalau begitu ... di mana ia sekarang? Mengapa aku belum melihatnya malam ini?
Aku menggeleng cepat. Ah, apa yang kuperbuat? Aku masih saja memikirkan orang lain ketika bersama Ajay.
"Pesta yang keren." Ajay memecah keheningan. "Hanya berisi sekitar dua puluh murid. Tidak ada alkohol ataupun rokok. Bagian terbaiknya adalah kudapan dan milkshake khas Golden Griddle." Pemuda berkacamata itu menoleh ke arahku dan tersenyum. "Kurasa aku harus mengucapkan terima kasih padamu karena telah menutup performa terakhirku sebagai sutradara dan murid senior sekaligus dengan pesta sekeren ini. Tahun-tahun sebelumnya ... kami tidak pernah merayakannya sampai sejauh ini."
"Kau harus berterima kasih kepada Nick dan kedua orang tuaku. Sebenarnya ... semua ini adalah ide mereka." Aku membalas senyumnya.
"Tapi tetap saja. Ini pestamu juga."
"Ngomong-ngomong, kau sudah memutuskan akan berkuliah di mana?" tanyaku.
"Yale University," jawab Ajay singkat, "kampus yang cocok untuk sutradara sepertiku."
"Kudengar mereka punya program performance art terbaik di Amerika."
"Yeah, dan di sanalah aku akan berkuliah." Pemuda itu bergeming, kemudian mendongak, menatap bintang-bintang berkilauan di angkasa. "Aku tidak pernah merasa sebergairah ini sebelumnya, membayangkan menjadi sutradara sungguhan di masa depan, atau menjadi bagian dari aktor itu sendiri."