Prolog

146 20 3
                                    

Suara kaki yang di ketukkan ke lantai terdengar seirama dengan jarum jam yang terus berdetik. Si pemilik kaki terlihat bosan sekaligus kesal, menunggu kedatangan seseorang sejak berjam-jam yang lalu. Selalu begini.

Tama menghembuskan nafasnya kasar. Ia mengusap wajahnya sambil menggeram melihat jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari.

"Dari mana saja kamu!" Sentak Tama saat pintu depan rumahnya terbuka.

Tama menahan gejolak amarah sambil bersidekap dada. Sedangkan orang di hadapannya ini hanya memutar bola matanya malas sambil berusaha berdiri dengan tegap.

"Kamu mabuk lagi, Sandra?"

"Kapan kamu mau berubah, hah? Setiap hari pulang pagi sambil jalan sempoyongan!"

Sekuat apapun Tama menahan emosi, namun pada akhirnya bentakan tetap keluar dari bibirnya.

"Umur kamu bukan 9 tahun lagi yang harus Papah awasin terus-terusan. Kamu bakal hidup mandiri, pisah dari papah nanti. Apa jadinya hidup kamu kalo terus-terusan begini!"

Sandra berpegangan pada dinding di dekatnya. Kepalanya benar-benar pening akibat terlalu banyak meminum alkohol.

"Sadar, Sandra! Berpikirlah dewasa!"

Sandra hanya menguap lebar sebagai respon.

"Udah ngocehnya? Udah selesai?" Timpal Sandra melihat Papahnya yang sedang mencoba mengendalikan nafasnya yang memburu.

"SANDRA!" Suara Tama menggelegar seantero rumah. Sandra sedikit terkejut. Baru kali ini Tama membentaknya sekeras ini. Bahkan Sandra melihat Linda terbangun dan berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu dan lorong menuju kamar orang tuanya.

Sandra mengucek matanya. Tanpa mau berbasa-basi dengan papahnya lagi, ia langsung menaiki tangga menuju kamarnya. Sebisa mungkin ia menahan tubuhnya yang sempoyongan dengan berpegangan pada sisi tangga.

Tama memijat kepalanya yang berdenyut. Anak perempuan satu-satunya terlalu susah diatur. Ia selalu merasa gagal menjadi ayah yang baik saat tak sengaja membentak Sandra. Tapi ia juga merasa begitu bodoh jika tutup mata dan telinga melihat kelakuan putrinya setiap malam. Tama benar-benar merasa menjadi ayah yang buruk.

Linda, sebagai istri membantu menenangkan Tama dengan meminjat bahu suaminya pelan. Kejadian ini selalu terjadi setiap hari. Setiap kali putrinya pulang dini hari dengan keadaan mabuk. Tapi baru kali ini Tama mengeluarkan bentakan yang sangat keras.

***

"Sandra, buka pintunya sayang!"

1 detik.

2 detik.

3 detik.

Hingga 1 menit Tama berdiri diam di depan pintu kamar, ia sama sekali tak mendengar sahutan Sandra dari dalam.

Sambil membawa nampan berisi sarapan, Tama masuk dengan mudah karena pintu yang tidak terkunci sama sekali.

Tama melihat Sandra yang masih bergelung di tempat tidur. Keadaannya berantakan seperti biasa. Barang-barang yang tidak berada pada tempatnya, selimut yang terjatuh dari kasur, dan posisi Sandra yang tertidur dengan kaki yang menjuntai ke lantai.

Setelah meletakan nampannya di atas nakas samping tempat tidur, Tama membantu memperbaiki posisi tidur Sandra dan membereskan barang-barang di sekitar tempat tidur.

"Papah minta maaf, sayang. Untuk kesekian kali, Papah bentak kamu." Tama berkata pelan sambil mengusap puncak kepala Sandra.

Sandra menggeliat sambil mencoba menyesuaikan binar cahaya yang masuk kedalam netranya.

Ia melihat Papahnya yang duduk di sampingnya. Ada sebuah nampan berisi sarapan yang sudah di taruh di atas nakas. Tirai jendela kamarnya juga sudah terbuka. Seperti biasanya.

"Sandra minta maaf, Pah." Ucap Sandra dengan suara serak khas bangun tidur. Selalu saja begitu. Dini hari, ia selalu pulang dengan keadaan mabuk berat dan saat terbangun akan meminta maaf pada Papahnya yang selalu menyediakan sarapan untuknya. Sandra menyayangi Papahnya, sungguh.

Tama tersenyum tipis sambil menyodorkan segelas air hangat.

"Ini sudah jam 10, Sandra." Ucap Tama yang hapal jika putrinya akan menanyakan hal ini.

"Yaampun, Pah! Sandra ada jadwal kuliah setengah jam yang lalu." Sandra berteriak heboh.

Sandra melompat dari tempat tidur. Segera setelah meraih handuknya di atas lemari, Sandra berlari menuju kamar mandi.

Tama hanya menggelengkan kepalanya. Semarah apapun dirinya, sekecewa apapun ia pada Sandra, Tama terlalu menyayangi putrinya hingga tak kuasa marah terlalu lama.

Tama benar-benar harus menjaga putrinya seumur hidup. Atau, ia perlu mencari pria untuk Sandra sebagai teman hidup.






Jawa Barat, 14 Agustus 2021

Wa'alaikumsalam, Imam!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang