C H A P T E R 10

12 4 0
                                    

Tandai typo!

"Sandra,"

Malam menjelang saat kedua orang tuanya kembali entah dari mana. Sandra tengah bersantai di depan tv dan memakan cemilan.

"Papah udah pulang?" Sandra berbasa-basi.

Linda sudah beranjak lebih dulu menuju kamarnya menyisakan mereka berdua. Tama bergerak duduk di sampingnya.

"Kamu tau 'kan tindakan kamu siang tadi itu gak baik," Tama memulai pembicaraan.

"Apa?" Sandra menanggapinya tanpa mengalihkan fokus pada televisi.

"Assalamu'alaikum,"

Sebuah salam mengalihkan perhatian keduanya. Tama segera menjawab lalu beranjak untuk membuka pintu. Sandra berhasil mengintip, ternyata Akbar yang datang.

"Mana kunci mobil Akbar, Sandra? Akbar ke sini mau ngambil mobilnya,"

Sandra menyodorkan kunci mobil yang ia taruh di dekat televisi, "nih."

"Sandra, minta maaf," titah Tama.

"Gak mau," Sandra memalingkan wajahnya.

"Gak apa-apa kok, Pah. Saya tidak keberatan, mungkin tadi saya terlalu lama membuat Sandra menunggu padahal Sandra sudah lelah dan ingin pulang," sela Akbar.

"Jangan selalu membela Sandra. Salah tetap salah. Sandra harus bertanggung jawab, minimal mengakui kesalahannya dan meminta maaf," Tama berkata tegas.

Sandra memanyunkan bibirnya, "Papah apaan sih ngebela dia. Lagian Papah denger sendiri dia gak keberatan sama sekali, ngapain Sandra harus minta maaf sama cowok itu,"

"Jelas kamu yang salah di sini. Kamu pulang tanpa izin meninggalkan Akbar. Kamu juga membawa mobilnya,"

"Dia sendiri yang ngasih kuncinya, terus sekarang kenapa? Cowok ini ngadu ngerasa mobilnya dibawa kabur gitu?" Sandra memberikan pertanyaa beruntun sambil menatap sinis Akbar.

Tama menghela nafasnya, "justru Akbar menelpon dengan suara panik bukan karena mobilnya. Ia khawatir sama kamu karena hilang tiba-tiba. Akbar takut terjadi sesuatu sama kamu. Papah dan Mamah segera pulang dan kamu ternyata sedang santai nonton tv,"

Sandra menatap Akbar dengan tatapan tak percaya. Khawatir?

Akbar memalingkan wajahnya, "gak apa-apa, Pah. Yang penting Sandra tidak kenapa-kenapa. Jika begitu, saya pamit. Sandra, saya pulang dulu."

Akbar menyalami Tama lalu beranjak pergi setelah mengucapkan salam. Sandra hanya melirik sekilas kepergian Akbar.

"Jangan pernah mengulang hal seperti itu, Sandra. Akbar sangat baik sama kamu, cobalah memberikan perlakuan yang sama baiknya," Tama mengingatkan.

Sandra berdehem pelan.

"Pah, buat apa sih Sandra harus pakai gaun segala? Udah gitu syar'i banget lagi, terus lusa itu acara apa?" Sandra mengeluarkan pertanyaan yang mengganggunya sejak siang.

"Papah ngadain acara untuk pertunangan kamu, sebenarnya Papah ingin kalian langsung menikah, tapi Akbar menyarankan menunggu kamu wisuda,"

Wajah Tama berubah antusias saat menceritakan acara yang akan ia adakan lusa nanti. Berbeda dengan Sandra yang saat ini terkejut bukan main. Tunangan? Menikah? Jadi si Akbar itu tak membatalkan perjodohannya sama sekali? Sandra menggeram kesal.

"Pah, kenapa buru-buru sih," kedua alis Sandra bertaut menunjukkan kekesalannya.

"Papah ingin melihat kamu segera menikah, Sandra."

"Kenapa? Papah udah gak mau Sandra tinggal bareng Papah lagi, ya? Sandra repotin Papah?" Sandra bertanya dengan sendu.

"Bukan seperti itu, sayang. Papah gak tau berapa lama lagi Allah ngasih kesempatan buat Papah ngeliat kamu. Selagi Papah masih ada, Papah ingin liat kamu hidup bersama lelaki yang tepat."

"Papah kok ngomongnya gitu sih, Papah bakalan tetep sama Sandra."

Sandra beranjak memeluk Tama. Rasa sesak bersarang di dadanya membayangkan Tama pergi meninggalkannya. Sandra terisak di pelukan sang Papah.

"Gak boleh. Siapa pun gak boleh ambil Papah dari Sandra. Sandra sayang sama Papah,"

Tama mendongakkan kepalanya ke atas untuk mencegah air matanya ikut mengalir mendengar ucapan Sandra.

"Innalillahi wainna ilaihi rāji'un, sesungguhnya semua dari Allah dan akan kembali pada-Nya,"

Sandra semakin mengeratkan pelukannya saat merasakan elusan lembut di puncak kepalanya.

"Kalo Tuhan ngambil Papah, berarti Tuhan gak sayang sama Sandra," tangisan Sandra semakin deras.

"Justru ujian dari Allah adalah bentuk rasa sayang-Nya,"

Sandra menggeleng keras. Malam itu, Sandra berjanji pada dirinya sendiri akan melakukan apapun untuk sang Papah, asal Tama tetap bersamanya. Tetesan air mata menjadi saksi janji yang terucap di hati.

¤¤¤

"Hari ini bagaimana kabarnya, Kiyai?"

"Masih sama, belum ada perkembangan yang signifikan,"

"Sebenarnya, saya ingin menyampaikan satu kabar,"

"Apa itu nak Imam?" Akbar sempat ragu tapi apa boleh dikata, cepat atau lambat ini harus Akbar sampaikan.

"Saya sudah meminang seorang gadis. Mungkin Kiyai juga kenal, dia puteri tunggal papah Tama. Insyaa Allah, lusa kami mengadakan acara syukuran untuk pertunangan kami. Kiyai sudah saya anggap bagian dari keluarga saya. Jadi, saya berharap Kiyai bisa hadir lusa nanti," papar Akbar.

"Masya Allah, semoga Allah meridhoi. Insya Allah saya hadir. Siapa tadi calon mertua kamu? Tama?" dahinya menunjukkan kerutan dalam.

"Betul, Kiyai."

"Tama putera pemilik pondok pesantren At-Taqwa dulu, bukan begitu?" tanyanya.

"Benar begitu," Akbar menjawab dengan ucapan pelan.

"Masya Allah. Sudah lama sekali saya tidak bertemu dengan dia. Dulu sekali, terakhir kali kami bertemu saat Tama menyerahkan kepemilikan itu pada saya," matanya menerawang, mengulik kembali ingatan lama di kepalanya.

"Tapi, mungkin saya tidak akan lama menghadirinya, nak Imam," lanjutnya sembari menatap pintu kaca di depannya.

"Saya paham, Kiyai," timpal Akbar.

"Calon istrimu itu, tau kamu sering berjaga di sini? Takutnya hal ini menimbulkan pikiran yang tidak-tidak,"

"Insya Allah tidak akan terjadi seperti itu," Akbar tersenyum menenangkan.

Sunyi kembali melingkupi. Keduanya memandang ruangan putih itu dengan seksama. Seseorang dengan pakaian biru khas pasien rumah sakit tertidur lemah di dalam sana. Matanya enggan terbuka untuk sekian lamanya. Pernafasan hingga nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya dibantu oleh beberapa pasang alat dari rumah sakit ini.

Akbar menatap sendu ke dalam. Seandainya bisa, Akbar ingin berharap ini semua tidak pernah terjadi. Namun, ia sebagai manusia tidak boleh berandai-andai atas apa yang telah terjadi. Itu sama saja dengan dirinya tidak menerima atas kehendak Allah swt.

¤¤¤

To be Continued...

Wa'alaikumsalam, Imam!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang