#00 • Prolog

453 207 213
                                    

"Meski telah memberi keteduhan, ia akan tumbang saat kau terus menyakitinya."

🌳🌳🌳

Hujan sore ini hampir selesai menuangkan tangisnya, masih terdengar sedikit rintik-rintik bersahutan jatuh ke bumi. Matahari yang tadi menyeringai panas, kini tergantikan oleh awan gelap yang setia menggantung dilangit. Seakan ada kesedihan mendalam, hujan turun perlahan dan pergi sesetelah puas menangis.

Kini di sisi jalan itu, terlihat pohon besar yang setia berdiri. Dedaunan gugur menderai, mengotori jalan yang sepi. Bahkan tak jauh darinya, terdapat kursi panjang yang ikut tertutupi oleh daun berguguran.

Pohon tua itu masih terlihat sehat tanpa adanya beban. Ia telah banyak melihat bagaimana dunia mempermainkan takdir. Seperti tampak tersenyum, ia menatap goresan ke sepuluh yang terdapat pada batangnya, sedikit membuatnya paham bahwa masalah yang besar sangat butuh penyelesaian.

Pohon itu kini melihat ke arah sebrang jalan, menatap seorang pemuda berseragam putih abu-abu, yang datang dengan menenteng tas ransel di tangannya. Suara langkah kaki itu sekarang sedikit asing untuknya, yang ia ingat pemuda itu tak datang setelah melewati tiga pekan lamanya.

Bajunya basah kuyup setelah diguyur hujan, sepatu yang ia kenakan terlihat kotor dengan bercak-bercak hitam menempel. Pada hitungan ketiga, pemuda tersebut sudah duduk bersandar pada pohon tua yang kini tampak kebingungan.

Pemuda itu mengusap kasar wajahnya, memijat keningnya yang terasa pusing dan menghela napas pelan. Ia mendongak menatap ke atas, memperhatikan pohon tua yang dirinya sendiri tidak tahu bahwa pohon tersebut juga memperhatikannya.

"Semuanya berantakan," ucapnya.

Kemudian ia membuka ranselnya, dan mengeluarkan buku yang bertuliskan nama 'Kariel' dengan huruf kapital di depannya. Beruntung buku tersebut tidak ikut basah akibat hujan yang tadi turun cukup deras.

Kariel Sangsaka Skya, nama indah dengan hidup yang kelam. Pemuda tampan dan ketus, tinggi dengan tubuh kekarnya, namun rapuh hatinya.

Kariel membuka tiap lembar yang terdapat pada buku bersampul hitam di tangannya. Beberapa dari lembaran buku tersebut sudah kehilangan bagian kertas di samping atau bahkan bawahnya.

Pada lembaran kedelapan belas, terdapat pisau kecil yang terselip di sana. Kariel menatap datar pisau tersebut lalu mengambilnya.

Pemuda itu memutar-mutar sisi pisau dan bergumam "Maaf," katanya. Kariel sedikit berbalik dengan mata menatap batang pohon itu.

Tersimpan sedikit kenangan pahit saat lirikannya berhenti pada goresan lurus kesepuluh, goresan yang tiga minggu lalu ia ukir dibatang pohon ini.

Kariel mengusap goresan tersebut dengan tangan kirinya, lalu memejamkan matanya. "Kariel sayang sama Bunda, tapi kenapa Bunda gak bisa terima Kariel di sini," gumamnya.

Kariel kembali membuka matanya. Perlahan tangan kanannya naik, lalu memposisikan ujung pisau yang ia pegang di samping goresan kesepuluh tadi. Kariel mengukir goresan lurus yang sama, dengan nomor hitungan kesebelas. Ia berharap ini adalah ukiran terakhir untuk melukai pohon tua tersebut.

"Harus gimana lagi biar semuanya selesai?" tanya Kariel pada dirinya sendiri.

Tangan Kariel lihai dengan ukiran terakhir dari ujung goresan tersebut, lagi-lagi pemuda itu menghela napasnya dan tersenyum tipis.

"Gue minta maaf," gumam Kariel.

Matanya fokus pada batang pohon itu, dan menghela napas lagi. "Maaf gue selalu nyakiti lo," ucapnya lirih.

To be continued.
Instagram : @ayychakk

Pohon ke : 18 [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang