"Pada akhirnya kisah untuk bersama telah usai, maka abadilah kalian dalam rasa sakit."
🌳🌳🌳
Cahaya kuning keemasan yang diberikan oleh matahari di batas cakrawala, mampu membuat Kania tersenyum menatapnya. Gadis itu menunduk memainkan minumannya sembari merasakan angin berlalu melewati awan yang mulai menggelap. Angin itu berembus membentuk melodi indah, diikuti dengan lantunan lagu yang Kania nyanyikan.
Senja memang indah, tapi perlahan ia akan kembali tertidur. Kini, sore telah tergantikan dengan adanya malam, kesunyian yang hanya dihiasi bulan, tidak ada bintang yang datang malam itu.
Kania ragu, ia melirik ke sebelah dan matanya menatap dahan pohon yang bergoyang tertiup angin. Derap sepatu Kania terdengar, melangkah mendekati tong sampah yang berada di sisi samping pohon tersebut, lalu dengan cepat membuang minumannya.
Kania menggosokkan tangannya, merasa dingin saat embusan angin itu masuk menusuk kulitnya. Dengan cepat kaki Kania mengambil langkah lebar, dan berlalu begitu saja. Tersirat jauh di lubuk hatinya, Kania merasa gagal.
-- Pohon Ke : 18 --
Raya tersenyum kecut menatap bercak darah yang tertempel pada tisu putih di tangannya. Perubahan fisik yang semakin lama semakin jelas terlihat, hanya mampu membuat Raya berharap setidaknya sedikit dari harapan yang ia punya.
Di luar terdapat burung-burung yang berkicau menebarkan keelokannya. Dengan suara isak tangis yang terendam, hari ini Raya merasa sangat lemah dari hari biasanya.
Raya menyeka air matanya, merasa sakit yang perlahan menjalar di bagian kepalanya, ia merasa pusing. Semangatnya yang juga menurun membuat hati Raya seakan membeku. Hidup dengan cerita yang pendek bukanlah keinginannya.
"Mimisan lagi?"
Seorang pemuda dengan seragam putih abu-abu membuka suaranya. Pemuda itu berdecak, melempar asal tas ranselnya pada sofa yang terdapat di kamar gadis itu. Kariel berjalan mendekat, membuat Raya menggenggam tisu di tangannya dengan kuat.
Tangis Raya semakin menjadi, ia menggelengkan kepalanya dan membuang asal tisu digenggaman nya. "Bukan apa-apa, Kariel," lirih Raya.
Senyum kecut Kariel berikan, tangannya lihai mengusap air mata Raya. Jika boleh jujur, Kariel benci gadis cengeng. Kariel dan Raya hidup bersama sejak kecil, sedari dulu kedua orang tua mereka adalah teman baik. Namun bagi Kariel, Raya adalah sebuah santapan untuknya.
"Hari ini gak usah sekolah," ucap Kariel.
Lagi-lagi Raya menggeleng cepat. Ia menghiraukan ucapan Kariel dan mengguncang lengan pemuda itu. Kariel sedikit iba padanya, rambut yang tergerai indah kini sudah terlihat sedikit tak beraturan.
"Kariel, aku takut." Raya berucap dalam tangisnya.
"Jangan buat susah, Raya." Kariel memegang kedua bahu Raya, memutarnya pelan agar menghadap pemuda itu. Kariel menatap mata Raya yang memerah, mengusap kembali air mata gadis itu, kemudian ia menghela napas pelan.
"Hidup lo kalau gak nyusahin ya nangis," ketus Kariel. Kariel mendekap tubuh Raya, memeluknya erat dan mengusap punggungnya.
Gadis itu tidak punya keberanian untuk menjawab perkataan Kariel. Raya rapuh, bahkan kulit putih pucatnya kini telihat makin memucat bagi Kariel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pohon ke : 18 [New Version]
Teen FictionDia masih hidup, tapi hadirnya seakan tak terlihat. Laki-laki pemarah bak iblis pencabut nyawa, Kariel nyaris sempurna dengan sejuta pesona. Dia suka menindas, menyakiti fisik maupun mental musuhnya. Kariel benci seorang pecundang, sikap angkuh dan...