"Bahkan ketika rembulan memberi cahayanya pada malam, aku tetap tak bisa melihatmu sebagai orang yang jahat."
🌳🌳🌳
Malam memang tak pernah gagal memberikan rasa sakit yang enggan pergi, kadang kala kita menemukan jawaban yang salah dibalik kata penerjemah yang baik. Sebenarnya luka ini tetap ada, dia mengikuti bagaimana takdir menyusun luka selanjutnya.
Malam ini, bangunan rumah berlantai dua dengan dominasi warna putih dan cokelat, terlihat tenang seolah penghuninya tengah tertidur pulas. Raya hanya tinggal berdua dengan Nea, saat meninggalnya sang Ayah, banyak yang merubah hidupnya.
Hening menyapa, kala beberapa helai rambut mulai berjatuhan saat Raya menyisir pelan rambut indahnya. Sedari tadi Raya terus melihat pantulan dirinya dicermin, Raya sadar bawah ia telah jauh berbeda dengan dirinya beberapa tahun silam.
Raya hanya gadis penderita penyakit leukimia, yang tak berharap banyak akan hidupnya. Tangis yang ia tahan dalam beberapa waktu mulai pecah, terdengar memenuhi ruang tidurnya, tak sedikit dari banyaknya mimpi Raya yang dikubur dalam-dalam.
"Raya!" Suara pintu terdengar dibuka dengan kasar, Raya buru-buru menghapus sisa-sisa air matanya saat suara keras Kariel ikut menyapa lamunannya.
"Lo gak bisa ya sehari gak buat gue susah?"
Raya berusaha menelan salivanya dalam-dalam, wajahnya memerah dengan mata yang mulai sembab. Kali ini, apa lagi kesalahannya?
Kariel mendekati Raya dan menaruh sepiring Nasi Tim yang dibuat oleh Kania tadi sore. Malam ini wajah Kariel terlihat tak bersahabat untuknya, sebab akan ada banyak hal yang Kariel lakukan di luar rumah, alih-alih bersiap, Kariel malah menghampiri Raya untuk menjaganya.
"Dari Kak Kania ya?" tanya Raya lembut.
Kariel menatap sinis Raya ketika ia mulai menduduki bokongnya pada sisi ranjang. Dengan tubuh kekarnya, Kariel malah terlihat menyeramkan bagi Raya.
"Lo harusnya tau kalau hidup gue bukan untuk jadi pengawal pribadi lo," sindir Kariel.
Setengah jam yang lalu, Nea berpamitan padanya untuk pergi bekerja, sudah lama Nea menggantikan posisi Rey─Ayah Raya, sebagai tulang punggung keluarga sejak kematiannya. Nea sudah menghubungi Kania untuk meminta gadis itu menemani Raya malam ini, namun di tengah kesibukannya, Kania malah mengirim Kariel sebagai pengganti sementara.
"Aku pikir tadi Kak Kania yang bakal datang," kata Raya, gadis itu menahan air matanya yang ingin kembali jatuh, "aku minta maaf Kariel, aku gak tau kalau malah kamu yang datang," lirihnya.
"Kayak gak pernah ngerepotin aja," gumam Kariel.
Raya merasakan nyeri pada dadanya, ia menunduk memandang tiap helai rambut yang berserakan dilantai. Meski ucapan Kariel terdengar pelan, namun hal itu mampu menusuk hatinya.
Raya sedih mengapa Nea harus pergi bekerja malam-malam begini, ia mendengar jika Nea tadi mendapat panggilan bahwa malam ini toko sedang ramai, hingga mengharuskannya meninggalkan gadis itu. Nea hanya seorang Ibu rumah tangga yang memiliki sebuah toko roti di tengah kota, hingga saat Rey sedang dalam penerbangan, Raya hanya akan tinggal berdua dengan Nea.
"Bukannya besok lo harus kemo?"
Raya mengangguk, "iya, besok aku kemo sama Kak Kania. Kamu gak usah izin sekolah lagi ya," jawab Raya. Seperti yang dikatakannya tadi sore, gadis itu meminta Kania untuk menemaninya.
"Bagus deh. Selama ini yang buat gue bolos sekolah juga lo mulu," cibir Kariel. Sebenarnya tak hadir tanpa keterangan apapun di sekolah bukan hal baru untuk seorang Kariel, pemuda itu hanya ingin menyakiti Raya dengan lisannya.
Raya berusaha tak mendengar kata-kata pedas dari Kariel, ia lebih memilih berjongkok dan memunguti rambutnya yang tadi berjatuhan. Diikui perasaan dongkol, pemuda itu memperhatikan Raya dengan mata kepalanya. Kalau boleh jujur, Kariel sudah muak menuruti kemauan Raya. Bagi Kariel, Raya hanyalah gadis cengeng dan lemah yang akan terus menjadi mainan dalam hidupnya
"Badan lo sekarang jelek banget." Sudut bibir Kariel tertarik ke samping, yang mengulas senyum miring untuk meremehkan Raya.
Gadis berkulit pucat itu mengangguk pelan, ia memang merasa bahwa mendapat penurunan berat badan secara drastis, akibat dari penumpukan sel kanker di dalam darah yang mengakibatkan Raya sering makan lebih sedikit dari sebelumnya.
"Memangnya dulu badan aku bagus?" tanya Raya yang membuat pemuda itu mendengus kesal.
Kariel mulai bangkit dan mendekati Raya, sedikit menundukkan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi gadis itu yang tengah berjongkok. Dipegangnya dengan kuat pipi gadis itu hingga terasa sedikit menekan, membuat sang empunya merasa takut.
"Lo pikir hidup lo bakal berguna buat gue?" Raya menggeleng kuat kepalanya, merasa kini tubuhnya tiba-tiba melemas. Kedua mata bulatnya sudah berkaca-kaca, Kariel terlihat seperti iblis kejam di matanya, Raya benci mengakui bahwa dirinya sangat membutuhkan Kariel.
"Cengeng!" sarkas Kariel ketika ia melihat bahu gadis itu bergetar, "gak heran gua liat lo mewek mulu." Kariel tertawa hambar melihat Raya terluka, sementara Raya, gadis itu mencekram erat tangannya saat lagi-lagi merasa matanya memanas.
Dengan sisa kewarasannya, Raya memberontak kecil kala mendapatkan rasa sakit dari pipinya. Ia merasa sangat amat marah pada Kariel, namun sialnya Raya tak punya keberanian untuk melawan.
Kariel itu kejam, tak punya hati dan naif. Raya tidak merasa sudah banyak berbuat salah, namun entah mengapa semakin hari ia seperti boneka yang mudah dipermainkan sesukanya.
Raya kalah, ia menunduk setelah melihat rahang kokoh Kariel berubah mengeras dalam hitungan detik, netra tajamnya tak henti memandang lapar Raya bak musuh bebuyutan.
"Stop lo hasut keluarga gue bahkan nyokap lo sendiri Raya." Kariel kembali menyudutkan Raya seolah Raya lah yang bersalah di sini. Lagi-lagi Raya menggeleng, dia telan paksa ludahnya, dan dengan susah payah menahan isak tangisnya.
"Lo udah terlalu banyak nyusahin, gak berguna dan bisanya cuma nangis!" Kariel membuang kasar kedua pipi Raya, hingga mengakibatkan kepala gadis itu terbentur ke belakang mengenai meja riasnya.
Kariel tampak tersenyum puas, dia amati rupa Raya saat gadis itu merintih kesakitan, mulai dari matanya yang tak bisa membendung tangis, dan pipinya yang memerah akibat terlalu kuat tekanan dari tangan Kariel. Ini bukan permainan kejam, Kariel biasa melakukan lebih dari ini.
"Kariel, kenapa Raya?"
Kariel mendengus kesal saat dirasa permainannya akan berakhir. Suara Kania sangat mengganggu fokusnya pada Raya, dia mundur dua langkah dari tempat yang seharusnya dan menatap tajam Raya agar gadis itu mengunci rapat mulutnya.
"Kak Kania," parau Raya lemas. Gadis itu berhasil menangis dengan keras, hingga membuat gendang telinga Kariel hampir pecah.
"Alay!" Dengan dongkol, Kariel menggerutu dan mengambil langkah pergi meninggalkan kedua gadis tak sedarah itu di dalam kamar.
•••
To be continued.
Instagram : @ayychakk
KAMU SEDANG MEMBACA
Pohon ke : 18 [New Version]
Teen FictionDia masih hidup, tapi hadirnya seakan tak terlihat. Laki-laki pemarah bak iblis pencabut nyawa, Kariel nyaris sempurna dengan sejuta pesona. Dia suka menindas, menyakiti fisik maupun mental musuhnya. Kariel benci seorang pecundang, sikap angkuh dan...