🎑3L🎑

126 16 4
                                    

Aku terperangah saat melihat tingkah Zayn yang dia kira 'menggemaskan' itu. Echa yang berdiri disampingku menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

"Oo, hm, Au mending kita jangan disini." Echa menatap horor pemandangan didepannya.

Zayn menyenderkan kepalanya kepada Azam sok lelah, letih dan lunglai. Hari ini memang sangat terik, saat pembukaan ospek kami dikumpulkan dilapangan terbuka dan serasa seperti sedang di sauna. Zayn yang tiba-tiba sok ngedrama mencoba menarik perhatian Azam dengan cara 3L itu. Aku hanya terkejut karena Azam bisa masuk perangkap setan, eh maksudku perangkap buatan Zayn yang dirancang seakurat mungkin.

"Aumy, tunggu." Suara dentuman keras terdengar disela ucapan Azam.

"Astagfirullah, mati. Eh mati." Echa latah.
Aku berbalik dan menemukan Zayn sudah tergolek indah dilantai.

"PERGI. LARI." Kira-kira sinyal itu yang aku dapatkan dari gesture Zayn yang menahan sakit sekalian malu.

"Zayn, kamu keterlaluan. Maksudnya, Kak Azam." Echa yang gagal menerima misi dari Zayn malah mencoba membantunya untuk berdiri dengan segenap paksaan.

"Kamu baik-baik saja?" Pertanyaan Azam menghentikan langkahku untuk mengambil langkah 1000.

"Baik Kak, maaf Kak aku mau ketoilet sebentar." Aku mengarang alasan dengan cepat. Ini bukan hanya karena ancaman Zayn, tapi aku juga tidak nyaman bertemu dengan Azam setelah sederet kejadian memalukan itu.

"Toiletnya disini." Azam menunjuk kearah sisi Echa dan Zayn.

"Aku mau ketoilet lantai bawah kak. Permisi." Sedetik kemudian bayangkupun tak ada lagi disana.

Nafasku menderu akibat pelarian mendadak itu. Kuputuskan untuk berlari kearah pohon besar didekat kantin. Mencoba menyetel kembali irama dari dalam paru-paru.

Pagi ini perasaanku tidak enak, hawa situasi burukpun menghantui. Jadwal kedatangan kedua orang tuaku selalu saja diundur terus menerus sampai detik ini. Kemudian beberapa hari yang lalu aku juga mendapatkan pesan ancaman yang sudah tertebak siapa pelakunya. Tidak hanya berupa pesan,paket hororpun terus menerus datang. Aku benar-benar sudah muak, sudah diambang batas. Ditambah lagi masalah-masalah lain yang ku hadapi.

Benda segi empat didalam saku ku bergetar.
"Halo, Ma. Udah sampai dirumah?"

Beberapa menit kemudian benda itu aku masukkan kembali.

Aku menatap jauh keatas langit, memeluk kedua lututku dengan perasaan luar biasa nanonanonya.

Kutatap bulir bening yang menempel disisi kiri tanganku. Setetes, dua tetes, dan selanjutnya aku menenggelamkan kepalaku diantara kedua tanganku.

Mama Papa batal mengunjungiku dengan alasan mereka memiliki pekerjaan yang sama sekali tak bisa diundur. Aku tau ini sebuah pertanda buruk, jika sudah ter cancel sekali biasanya itu akan berlanjut untuk seterusnya, siapkan bathin saja jika aku harus berkuliah disini tanpa kunjungan Mama Papa.

Isak tangisku tak terdengar, aku mencoba menahan suara sekuat tenaga agar tak terdengar mahasiswa lain diujung sana yang sedang melahap makanannya penuh suka cita.

Lagi-lagi ponselku bergetar, mengisyaratkan sebuah panggilan menghubungiku. Aku terlalu malas untuk berdebat dengan kedua orang tuaku detik ini. Saat ini sudah panggilan ketujuh, masih keukeuh dengan niat tak mau melihat siapa dalang ponselku bergetar, tapi aku yakin itu dari Mama.

Sepuluh menit aku rasa sudah berlalu. Air mataku masih mengalir deras dipipi. Sulit untuk kuhentikan, entah sejak kapan aku terakhir kali menangis seperti ini. Rasanya benar-benar sedih, aku berharap Mama Papa bisa mengunjungiku setidaknya sekali. Tapi inilah konsekuensinya jika bersekolah berjauhan dari orang tua.

Aku berdiri, menarik nafas dalam dan bersiap mengangkat ponsel yang masih setia bergetar hebat disana. Air mataku masih bercucuran bak ember bocor. Tak bisa ku hentikan.

"Ma, nanti kita bica----" ponselku terlempar saat tangan seseorang mencoba menarik tanganku kuat.

"Kamu---" Pembicaraan orang didepanku terhenti.

Bak jatuh tertimpa tangga, situasiku saat ini benar-benar mengenaskan saat aku tahu siapa yang mencengkramku sekuat ini dan disaat kondisiku terpuruk begini.

Apakah kalian bisa percaya jika aku katakan kalau saat ini jiwaku meninggalkan ragaku saat menatap orang didepanku?

Entah sudah berapa detik aku menahan nafas saat ini. Aku tak bisa merasakan apapun saat ini. Sedih, bahagia, kecewa, marah dan sebagainya.

Mataku tiba-tiba tak bisa memandang jernih, aku sadar air mataku masih mengalir bebas. Tangan kekar dilenganku tiba-tiba melonggarkan genggamannya.

Mataku tertuju pada ponsel yang terlempar direrumputan sana. Lelaki dingin didepanku ikut mengarahkan pandangannya pada tatapanku.

Satu... Dua ... Tiga ...

Aku tersadar dan terduduk lemas seketika. Tanganku tiba-tiba bergetar hebat. Aku menahan isak tangis yang akan keluar, aku menutup wajahku cepat dengan kedua tangan. Dan isakan yang kutahan sejak menjadi Aumy versi baru ini pecah untuk pertama kalinya.

Aku terisak hebat, tidak memperdulikan orang didepanku. Rasa malu, rasa gengsi dan jaim musnah sudah. Aku hanya ingin menangis saat ini, entah apa yang merasukiku saat ini, sudah bertahun-tahun aku kuat dan tidak selemah ini, tapi semuanya sirna saat orang yang tidak kuduga datang ketika posisiku diujung tebing curam tinggi. Dua pilihan,satu: orang ini akan mendepakku kejurang dalam, atau dua: dia akan membawaku menjauh dari sana. Tapi aku seribu persen yakin orang didepanku aku melakukan opsi satu.

Benda berat serasa menengger dikepalaku saat ini, pikiran burukku menghantui, apakah dia akan memasukkanku kedalam karung dan mencoba menghentikan pernapasanku?

"Halo tante ini Arav. Aumy sedang menangis karna terjatuh saat disuruh seniornya untuk mengitari lapangan."

"Arav juga senang bisa menyapa Tante lagi. Maaf selama ini belum sempat menghubungi kembali."

"Baik tante. Nanti akan Arav sampaikan padanya untuk tidak cengeng dan  tidak terlalu mendramatisir keadaan."

Tangisku makin menjadi, aku semakin menenggelamkan wajahku dikedua sisi lenganku. Mungkin karena sudah sadar, aku merasakan sensasi malu, marah disaat bersamaan. Tega sekali lelaki ini mengarang asalan konyol kepada orang tuaku.

Aku bangkit dan menjatuhkan sebuah jaket hitam disana, mencoba mengambil kasar ponselku ditangannya. Meraih tas sandang kecil yang juga tergeletak diatas tanah, aku ingin segera kabur dari pandangannya Arav.

"Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang Ghea?" Suara Arav terdengar dalam dan tenang.

Langkah kakiku terhenti. Tanganku mengepal kuat, disaat seperti ini dia masih membahas tentang Ghea?!

Aku berbalik menahan emosi, maju beberapa langkah  tepat didepan sosok yang membuatku sakit hati ini.

'JANGAN LIBATKAN AKU KEDALAM URUSAN PERCINTAANMU!'

'JANGAN GANGGU HIDUPKU LAGI.'

'JANGAN MUNCUL LAGI DIDEPANKU.'

'JANGAN MEMBUATKU SESAKIT DULU.'

Begitu banyak kata yang rasanya ingin aku muntahkan didepannya, TAPI ...

"Aku ..." Suara kecil yang gemetar yang berhasil lolos dari mulutku.

Matanya menatapku dengan tatapan tak terbaca. Tanpa kusadari tangan besarnya mengusap derai air mataku dipipi.

"JANGAN MENYENTUHKU!" Kalimat kasar mengudara disekitarku. Arav sedikit terkejut mendengarnya, dan aku? Aku lebih terkejut lagi, refleks karena jantungku serasa berhenti saat merasakan tangan hangatnya menyentuh kulitku. Ini bukan tindakan Arav biasanya padaku. Jadi aku pasang kuda-kuda seribu.

"Aku tidak ada urusan dengan Ghea, aku tidak ada urusan dengan kakak, dan aku tidak mencampuri urusan keluarga kakak!"

Tidak seperti ucapanku yang keras, tubuhku masih bergetar tak menentu. Arav lagi-lagi menatapku dengan mata itu.

"Maaf." Kata itu terucap tenang dan jelas.

Will be continued ...

PRECIOUS WOUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang