🎑Petir Hangat🎑

74 10 4
                                    

Sudah tiga hari aku tidak keluar rumah. Rasa malas menyerangku baik sengaja ataupun tidak. Maksudnya, sengaja karena aku tak ingin melihat wajah lelaki tetangga sebelah, tidak sengajanya karena aku masih merasa tidak baik-baik saja.

Ketukan ringan terdengar di pintu. Mama masuk sambil membawa nampan berisi roti dan segelas susu. Boneka rilakkuma besar yang aku pangku digeser dengan lembut, aku hanya tersenyum.

Mama menanyakan keadaanku, tersirat sorot rasa resah dimatanya. Aku hanya berkata aku baik-baik saja, rasa malas beranjak dari ranjang yang membuat sosokku jadi tak segar dan terlihat kurang fit.

"Ada yang ingin Mama sampaikan,sayang. Tapi ..."

"Apakah sudah waktunya, Ma?" Ku potong cepat perkataan Mama.

Mama hanya menghela nafasnya berat. Aku tahu maksud ucapan Mama. Sudah lewat tiga hari Mama disini, tidak sesuai dengan izin yang diperolehnya dari kantor untuk menemuiku, lewat dari perjanjian kantor mungkin akan menimbulkan masalah nantinya untuk kedua orang tuaku.

"Ma, Aumy sudah baik-baik saja. Mama dan Papa tidak apa-apa kembali ke Padang." Aku menatap Mama lama.

"Benar lho, Ma. Aumy ga bohong. Nih." Aku berdiri dan sedikit menggerakkan tubuh seperti bergoyang dengan tema yang tidak jelas. Sengaja supaya Mama bisa lega.

Tapi wajahku yang semula tersenyum sumringah berubah sedatar-datarnya. Mama mengalihkan tatapannya kearah tatapanku. Sosok lelaki yang kuhindari tengah berdiri didepan pintu kamar dengan ekspresi tak tertebak.

"Arav, kapan kamu sampai? Ayo sini." Mama menyilahkan Arav untuk masuk ke kamarku.

Dengan segenap tenaga yang tersisa dari goyangan maut aku tampilkan, aku bergegas menyelimuti seluruh badanku cepat. Rasa malu menyerangku. Bertingkah konyol didepan Arav bukanlah hal yang patut dibanggakan. Bisa- bisa aku dicemooh setelah menatapnya.

"Oh, Aumy, kamu ..." Lagi-lagi Mama terdiam.

"Maaaa..." Hanya itu saja yang meluncur dari mulutku, Mama langsung bertindak. Terdengar bisikan-bisikan olehku dari dalam selimut.

"Baik, Tante. Tidak apa-apa, Arav sudah biasa melihatnya seperti itu." Suara Arav yang sedikit tertawa terdengar. Aku mengangkat alisku cepat mendengar ucapannya.

Apa? Sudah biasa? Kapan pula? Apa-apaan sih dia, beralasan. Bohong sekali.

Sekitar sepuluh menit sudah aku bersarang diselimut tebal ini, perkiraanku Mama dan Arav sudah pergi ke lantai bawah. Ku geser pelan selimutku untuk mengintip. Syukurlah subjek yang tidak kuharapkan sudah sirna. Eh.

Ku kumpulkan niatku untuk bangkit dari tempat tidur, indra penciumanku menangkap bau yang kusuka. Oseng-oseng.

Ku dudukkan diriku diruang makan dengan sigap saat kulihat oseng-oseng sudah tertata rapi menggoda. Papa yang sepertinya juga terpancing ikut mendudukkan dirinya disampingku.

"Harum sekali, Ma." Papa mengambil se sendok besar untuk satu suap.

"Gimana, Pa? Enak?" Mama menaikkan alisnya bertanya.

"Mantap." Papa mengacungkan jempolnya ceria.

"Bilang makasih sama Arav, katanya dia yang masak oseng-oseng ini untuk Aumy. Mama cuma menyajikannya saja." Mama menatapku menggoda.

Seketika aku tersedak. Tidak lucu memang, tersedak karena oseng-oseng. Tapi ya begitulah kejadiannya. Aku dibuat heran sekaligus merinding oleh sikap Arav belakangan ini. Kenapa dia bertindak seperti ini? Apakah karena perasaan bersalah? Oh ayolah, Arav bukan tipe orang yang akan menyesal dengan semua tindakan yang dilakukannya.

PRECIOUS WOUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang