🎑Trauma🎑

129 14 5
                                    

Seumur hidup baru kali ini aku menangis tanpa suara. Tak terbayangkan kejadian ini akan menorehkan rasa trauma nantinya pada diriku. Aku pasrah dan rasanya ingin menyerah. Tubuhku tak bisa kugerakkan, seperti mati rasa. Penglihatanku tak berdaya, lilin yang kunyalakan kini mati sudah. Semuanya gelap gulita.

Mulutku mencoba mengeluarkan suara, tapi rasanya berat dan tak bervolume. Hanya air mata yang setia. Aku tak menghitung waktu yang telah berlalu. Pisau yang tertancap didepan mataku mengkilap terkena kilatan petir. Suara gerimis terdengar, langit ikut menangisiku.

Segelintir kenangan indah terlintas dibenakku, wajah Mama dan Papa yang sedang bersenda gurau diruang tamu menjelma. Aku semakin tersedu saat sosok yang begitu kurindu tersenyum kearahku. Aku memejamkan kedua mataku putus asa, berharap seseorang datang dan menolongku. Tubuhku bergetar hebat akibat tangisan yang tertahan.

Bunyi klakson terdengar bertubi-tubi dari luar. Kemudian suara ketokan terdengar menghantam gagang besi itu tak sabaran.

"Aumy, kamu didalam?" Suara yang gelisah terdengar.

Mataku terbuka, suara itu menyadarkanku. Tapi tetap saja mulutku seakan membisu. Kali ini gedorannya semakin menggebu.

"Awas jangan berdiri didepan pintu!" Ulasnya keras.

Bunyi engsel pintu yang patah terdengar, sesosok lelaki yang ingin kutemui berlari menghampiriku.

"Aumy, kamu..." Matanya memandang tepat kemanik matakuu. Tangannya yang hangat merangkul tubuhku kearahnya cepat. Tuhan seperti mengontrol mulutku, isak tangisku pecah ketika kupeluk erat sosok itu. Badanku bergetar hebat, pekikku tak tereklakkan.

"Aku takut. Aku ..." Kalimatku terbata, jemarinya mengelus lembut rambutku menenangkan.

"Sekarang tidak apa-apa. Kakak disini bersamamu." Arav mengeratkan rangkulannya ditubuhku.

Entah sudah berapa lama aku menangis, suaraku mulai terdengar serak karena terisak. Arav hanya diam dan tak berkata apapun, sepertinya dia tahu apa yang sudah terjadi kepadaku. Rangkulanku tak mengendor, tak ingin aku melepasnya, aku kalut dan takut.

"Kamu akan baik-baik saja." Suara Arav kembali menggema dalam gelap. Aku meremas kemeja yang dikenakan Arav sambil tetap tersedu.

Kali ini sebuah mobil yang aku tahu berhenti sembarangan didepan rumah, dua sosok yang kuhubungi tadi akhirnya sampai.

Echa dan Zayn berlari kedalam rumah seperti orang kesurupan.

"Ya Tuhaaaaaaannnnn. Pembunuhaaaaaan." Suara Zayn memekik seperti terjepit.

Langkah Echa tertahan saat hendak mendekatiku. Dia menatap pemandangan didepan matanya dengan kaku. Aku yang masih menangis menatapnya lama.

"Pisau Cha, pisau." Zayn mulai tergagap.

"Da... Da.... Daraaaahhhhhh." Suara asli Zayn terdengar menggelegar.

"Aumy kamu baik-baik aja?" Echa memutuskan datang kearahku.

Kulepaskan Arav dan beralih memeluk Echa kali ini.

"Kamu terluka? Apa yang terjadi? Kenapa gelap begini?" Echa juga mulai menangis melihat keadaanku.

"Kakak akan menelfon ambulan." Arav berdiri cepat.

"Aku akan menelfon polisi. Perampok mana yang berani masuk kerumah sahabatku." Zayn terdengar kalut.

"Kamu berdarah?" Zayn berjalan kearahku.

Aku menggeleng. Tapi Zayn histeris duluan. Dia memekik tak karuan.

"Wait, ini darahnya kenapa ada hitam-hitamnya?" Zayn menyenter genangan cair itu bermodal lightning ponsel.

"PLN." Satu kata lolos dari mulutku.

PRECIOUS WOUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang