🎑New Home🎑

92 10 5
                                    

Genggaman hangat terasa dikulitku. Mata kubuka pelan, seulas senyumku tampak saat sosok yang kurindu sudah berada dikedua sisiku.

Mama menggenggam erat tanganku, dan papa mengecup ringan keningku. Tanganku terayun keudara menyeka bulir bening yang keluar tanpa rem diwajah Mama. Aku hanya menggeleng, mengisyaratkan untuk jangan menangis.

"Maafkan kami sayang, seharusnya Papa lebih mendahulukan kamu dalam segala hal." Papa mengelus rambutku lembut.

"Aumy baik-baik saja,Pa, Ma." Ujarku menenangkan mereka.

"Kami akan disini sampai kapanpun kamu mau, sayang. Kamu jangan cemas." Mama mengusap-usap pipiku.

"Tante Diah dan Om menunggu diluar, Echa dan teman kamu yang satu lagi juga standby. Apakah kamu mau bertemu mereka?" Papa dengan hati-hati meminta izinku.

Aku mengangguk mengiyakan.

Tante Diah dengan cepat berlari kearahku saat pintu dibuka, dibelakangnya om dan kedua sahabatku juga menyusul.

Mama menenangkan Tante Diah saat dia ikut menyalahkan dirinya karena tidak bisa melindungiku hari itu. Mama hanya memeluk sahabatnya itu, mengatakan kalau itu bukanlah kesalahan Tante Diah.

Kali ini giliran Echa dan Zayn yang mendekatiku. Echa menatapku lama, matanya seperti berkaca-kaca. Disisi lain, Zayn telah menenggelamkan wajahnya diboneka rilakkuma yang dibawa Mama untukku. Aku menepuk pundak Zayn, berkata kalau tidak usah menangis.

Zayn mengangkat kepalanya dan memasang wajah polos dan mengatakan kalau dia tidak menangis, hanya saja boneka itu membuatnya gemas. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah kocaknya.

Echa dan Zayn bertukar pandang, seolah ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Aku berdehem mengalihkan perhatian mereka cepat.

"Ada apa? Katakan saja, aku sudah baik-baik saja." Ucapku tenang.

"Jika kamu berkenan, dan jika kamu sudah merasa kuat, apakah kamu bisa meluangkan waktu untuk sesi hm ..." Perkataan Echa berjeda.

"Introgasi?" Aku melanjutkan.

Echa dan Zayn mengangguk.

"Tentu saja, aku ingin sekali menangkap orang itu. Jika tertangkap, akan aku buat dia menyesal telah mencoba melukaiku." Aku membuat postur seakan ingin meninju tersangka. Echa dan Zayn yang melihat responku hanya tertawa.

"Mas Azam, eh.. Kak Azam tadi kesini." Zayn menatapku sok enggan. Haha.

"Ay benar-benar baik-baik saja?" Zayn kembali menatapku dengan ragu.

Sesaat aku melamun, tapi kemudian aku mengangguk.

"Tentu saja. Tadi aku hanya terkejut." Aku menjawab dengab perasaan campur aduk. Jika boleh jujur, aku sangat sangat takut. Rasanya tak ingin melangkah se inci pun dari zona ini. Tapi aku tahu aku tak bisa bersikap seperti ini. Mama dan Papa pasti akan sangat khawatir, dan teman-temanku pun akan menggila. Mungkin begini lebih baik.

Tak bisa kupungkiri sosok Echa disampingku mendapati sorot takut dalam gerakanku. Dia hanya menepuk-nepuk kecil pundakku.

"Tenang kami ada disini." Echa tersenyum lembut.

****

Ini hari ketigaku dirumah sakit dan rasanya aku enggan untuk keluar karena merasa cemas untuk pulang kerumah. Mama menggenggam tanganku yang membuatku sadar.

"Arav kesini lagi. Dan ketua senat itu juga." Sorot mata Mama bermakna.

Aku hanya menatap Mama lama.

"Kenapa kamu tidak mau bertemu dengan mereka? Ada yang salah?" Mama bertanya lagi.

Aku hanya menggeleng dan beralasan kalau aku masih ingin sendiri. Sosok ibu memang paling mengerti, Mama hanya merangkulku kesisinya.

"Sayang, bagaimana kalau sementara kita pindah dulu. Kita tidak akan pulang kerumah." Papa mendekatiku setelah mengurus administrasi rumah sakit.

Jadwalnya memang hari ini aku akan keluar. Dan sepertinya Papa dapat melihat ketakutanku untuk kembali kerumah.

"Papa memang yang terbaik." Ujarku sambil mengedipkan mata.

Di dalam mobil aku hanya menatap kosong kearah luar jendela. Masih belum bisa percaya kalau aku jadi target pembunuhan berencana. Pagi tadi Papa dikabari unit kriminal dari kantor polisi. Mengatakan kalau pelaku sulit dilacak karna tak menemukan idik jari. Dan cctv diberanda pun mati. Saat mendengar hal itu aku hanya menghela nafas dalam.

Aku tersadar saat mobil berbelok kearah blok yang sudah kuhafal pasti. Seolah tau raut kaget dariku, Mama langsung menjelaskan kalau rumah baru berada didekat rumah tante Diah. Aku mengaduh dalam hati, kenapa?! Maksudku aku mencoba menjauh dari Arav untuk saat ini. Oh mungkin bukan saat ini saja, kalau bisa selamanya. Alasannya?

Seperti punya indra keenam aku tahu pembunuh bayaran itu diutus oleh Gea. Bukan ingin menjadi pengecut, tapi sepertinya Gea tidak main-main dengan ancaman untuk tidak mendekati Arav. Dan sekarang aku juga sadar perasaanku terhadap Arav, tidak seperti dulu lagi. Mungkin karena puluhan kali luka yang dia goreskan tak kasat mata padaku. Atau memang rasa itu yang telah sirna. Prinsipku sekarang yaitu kalau jodoh kita pasti bertemu.

Mobil mulai melambat ketika halaman tante Diah mulai tampak, benar-benar takdir yang aneh, rumah baruku tepat dua rumah disebelah rumah tante Diah.

Dan yang lebih mengejutkannya, didepan rumah sudah menunggu Tante Diah dan keluarganya, Echa dan Zayn juga terlihat. Sosok yang tidak ingin kujumpai juga berada tepat disamping Echa. Oh Tuhan, rasanya aku tak ingin keluar dari mobil.

"Pa bisakah mobilnya langsung masuk kedalam rumah?" Aku bertanya sambil sedikit tertawa.

"Tentu saja." Papa menjawabku cepat.

"Sampai..." Papa mematikan mobil. Sayangnya mobil berhenti tepat didepan garasi, memang itu termasuk oekarang rumah, tapi kan tidak begitu maksudku.

Mobil masuk kerumah itu ya benar² mobilnya masuk keruang tamu. Haha. Kalau bisa kekamar lebih bagus. Semuanya bagus kalau aku tidak bertemu lagi dengan Arav.

Mama dan Papa sudah lebih dulu turun dari mobil. Mereka menugguku diluar. Cukup lama bagiku untuk memikirkan perkataan apa yang akan aku ucapkan nanti jika Arav mendekat, tapi Zayn sudah lebih dulu membuka pintu mobil dengan ekspresi seperti memenangkan tiket lotre. Artinya ekspresi bahagia ya.

"Aduh lama banget Ay didalem, sih. Panas tau." Zayn mengapit kedua tanganku saat turun.

"Sayang kamu baik-baik saja?" Tante Diah langsung memelukku.

"Aumy baik-baik saja Tante." Aku membalas pelukan hangat Tante Diah.

Pandanganku beradu dengan Arav, dengan cepat aku alihkan cepat kearah Reyga. Aku memegang tangan Reyga, dan mengelus kepalanya lembut.

'Deg.' Gerakanku terhenti saat Reyga merangkulku dekapannya.

"Aku senang Kakak baik-baik saja." Reyga kali ini membalas mengusap kepalaku.

Kejadian itu bertahan kurang lebih dari tiga detik. Setelahnya tangan Reyga dicegat kuat oleh Arav. Mataku berkedip beberapa kali saat Arav menatapku tepat dimanik mata.

"Kepalanya sepertinya masih sakit jadi jangan diusap dulu." Suara yang kurindu sekaligus ku takuti dmtersengar.

"Dia tidak mengeluh sakit." Reyga berkata dengan nada sedikit tinggi.

Zayn menyikut lenganku cepat seolah dia memberi kode yang aku tidak tahu.

"Sudah, ayo masuk kedalam. Kasian Aumy." Tante Diah menyergah.

Echa merangkulku cepat dan tersenyum lebar.

"Welcome to a new home. But not the new way to home."

Will be continued ...

PRECIOUS WOUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang