Masih bisa membuka mata dan bernapas adalah keberuntungan sederhana yang sangat luar biasa nikmat. Namun, beda dengan pemuda yang terbaring dengan selang infus dan tubuh penuh luka lebam.
Matanya mengedip berulang-ulang, erangan kecil terdengar. Ada rasa nyeri yang menyerang ketika dia berusaha menoleh guna melihat tempat dia berada. Matanya menyipit mengatur sinar yang terlalu menyilaukan. Memeriksa tempat dia terbaring dengan lirikan mata saja sudah sangat menyiksa. Dia pikir mati tidak akan sesakit ini. Jika akhirnya akan menderita seperti, pastinya lebih memilih melanjutkan mengiris pergelangan.
Lalu seseorang dengan kemeja dan dasi mendekat di sisi ranjangnya, tersenyum dengan lega lalu menelepon seseorang. Tidak jelas siapa yang diberi kabar.
“Kamu sudah sadar? Tenang. Jangan buru-buru bangun.”
“Ini surga apa neraka?”
Lelaki tubuh besar dengan pistol di saku rompi mengeluarkan suara tawa dengan nada sinis.
“Kamu beruntung, tidak memilih keduanya. Selamat datang di bumi.”
“Shit, belum mati juga.”
“Well, jantungmu berdetak, respiratory rate normal, tekanan darahmu normal, ya meski ada beberapa jahitan di kakimu, luka pukul di kepala, dan tulang rusukmu mungkin patah, so far … yang kutahu itu tanda-tanda kehidupan.”
Matanya kembali terpejam, meratapi ketidakberuntungan karena masih hidup dalam keadaan mengenaskan. Kenapa tidak mati saja, harapnya. Ingin marah dan mengepalkan tangannya, tetapi sial semua bagian tubuh seperti sedang dinyalakan signal nyerinya.
“Bisa kamu ceritakan kenapa berada di jembatan itu?” tanya laki-laki yang mempunyai rambut cepak. Dari gaya berpakaian dan pistol otomatis, dia sangat mirip dengan seorang penyidik. Sangat pantas orang itu dipanggil Letnan.
Pertanyaan sang Letnan pada pemuda itu memunculkan sebuah ingatan di suatu malam. Sebuah pertarungan tiga lawan satu membuat pemuda itu berakhir di ranjang dan terkapar lemah.
“Aku awalnya ingin …,” Jawabannya tertunda gara-gara dia ingat dan ingin menjaga rahasia tentang niat menghilangkan nyawanya sendiri.
“Bunuh diri?” tanya sang Letnan dengan senyum puas bisa menebak sendiri tanpa perlu diberi tahu.
Pemuda yang diinterograsi itu mengalihkan pandangan, melirik pergelangan yang sekarang sudah terbalut. Tidak perlu banyak memberi penjelasan lagi, harga dirinya pun sudah jatuh karena itu. Sang Letnan bukan orang yang bisa diajak becanda atau diberi informasi palsu. Dengan napas yang berat sambil mengerang, sebuah anggukan diberikan untuk menunjukkan sebuah pengakuan.
“Yah, aku memang payah. Kupikir aku gampang mati jika ditembak. Ternyata orang-orang itu lebih memilih menghajarku.”
“Pistol itu hanya gertakan. Tidak ada isi. Percaya atau tidak mereka tidak berniat membunuh. Hanya merampok.”
“Merampok?”
“Ya, pengemudi mobil yang hampir menabrakmu bercerita. Dia memang sempat hilang kendali karena berusaha memacu mobilnya agar lolos dari kejaran komplotan. Lalu siapa sangka. Gara-gara kamu sok jagoan, akhirnya dia bisa kabur. Kamu baru saja membuat kesal para perampok.”
Penjelasan sederhana itu membuat sel neuron mendadak kusut. Bagaimana mungkin sudah membuat kesal, tetapi masih bisa selamat, gumam si pemuda. Berikutnya, dia dibuat penasaran karena tidak melihat seorang perawat pun di sana. Lalu gelagat sibuk si Letnan yang tiba-tiba bangkit dan membuka pintu, membiarkan seseorang masuk beberapa saat kemudian.
Dari celah pintu, bisa dilihat sebuah dinding yang jelas bukan bagian dari rumah sakit. Tidak mungkin rumah sakit mempunyai desain zaman Renaisance. Seketika sosok yang lebih tua masuk, dugaan paling buruk bertebaran di otak si pemuda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay
RomanceSetelah bangkrut, diselingkuhi pacarnya, dan menjadi pengangguran, Arda menemukan keberuntungan hidup ketika menikah dan bekerja sebagai pengawal pribadi seorang konglomerat. Menikahi Eveline tidak hanya seperti mendapat sebuah berlian, ini juga se...