Tangan Arda menarik satu kemeja dari tumpukan baju yang baru sehari kemarin dipindahkan ke lemari Eve. Tidak banyak yang dipindahkan, karena Arda tahu sesekali dia harus bersiaga penuh di rumah Markus. Sekarang dia punya dua tempat menginap. Salah satunya adalah tempat yang nyaman untuk beristirahat, meski pada akhirnya bukan hanya tempat beristirahat, malah tempat untuk membuang-buang energi.Satu persatu Arda menutup tubuhnya dengan baju yang sudah disiapkan. Dia mengaitkan kancing kemeja dan celananya sambil tersenyum melihat sosok tubuh yang tergeletak diam di atas ranjang. Dia membanggakan hasil kerja kerasnya dalam waktu singkat, sampai membuat Eve terlelap meski Arda sedari tadi menimbulkan suara berisik.
Arda menarik selimut menutupi tubuh Eve yang polos. Dia meninggalkan jejak kecupan sebelum merelakan kemolekan Eve tertimbun selimut. Eve menggeliat karena kecupan itu mengarah pada bagian yang kira-kira sejam yang lalu membuat Eve lupa tentang segala hal.
“Heeemmm,” desah Eve lirih.
“Aku pergi.”
“Pulanglah cepat,” saut Eve malas, matanya menyipit.
“Aku tidak janji. Sepertinya ada yang darurat. Jangan tunggu aku.” Kalimat yang berat diucapkan ketika menjalani hari pertama pernikahan. Arda membisikkan sekali lagi bahwa dia akan sangat rindu. Dia akan antusias dengan hari-hari selanjutnya bersama Eve.
Ponselnya berbunyi tepat setelah Arda melepas ciuman di bibir Eve. Dia meraih kunci cadangan apartemen lalu pergi meninggalkan kebahagiaan barunya. Dia berlari kecil menuju tangga darurat dan tidak terlalu memercayai lift yang malah akan membuatnya lama untuk turun. Dengan Eve, ternyata energinya tidak pernah hilang. Arda merasa setiap dia kehilangan energi, sumber pengisiannya tepat berada di sampingnya.
Gairahnya masih membara, meski dia harus menuruni tiga lantai dengan tangga darurat. Tidak ada napas yang terengah-engah, sampai akhirnya dia mencapai lobi dan menyeberang dengan berlari kecil menuju sebuah mobil yang terparkir di ujung jalan.
Bram menyalakan mesin mobil begitu wajah Arda muncul. Dia memberi kesempatan Arda untuk mengenakan sabuk lalu melajukan mobilnya tanpa banyak tutur kata.
“Ada masalah apa?”
“Pokoknya serius.”
“Bukannya Tuan Markus sedang tidak ke mana-mana?”
“Justru itu, ada masalah di rumahnya.”
Wajah Bram yang serius dan terlihat tegang, membuat Arda enggan memberi pertanyaan-pertanyaan lagi. Tidak banyak obrolan, bahkan seputar pernikahan Arda pun tidak. Mestinya ini adalah hal yang paling hangat untuk dibicarakan.
Tanpa rasa penasaran, meski biasanya Bram menceritakan detail tentang tugas-tugas yang harus dilakukan, Arda lebih memilih untuk duduk sembari membiarkan otaknya diisi oleh letupan-letupan kegembiraan. Jadi apapun tugasnya nanti, dia belum mau ambil pusing. Sisa-sisa kenikmatan itu sayang untuk tidak dibayangkan lagi.
“Tugasmu dialihkan,” ujar Bram tiba-tiba membuat Arda harus menjeda imajinasinya.
“Jadi apa?”
“Lihat saja nanti.”
“Ah, sial kamu, Bram. Sebenarnya ada apa? Kamu tidak biasanya seperti ini. Apalagi menggangguku saat sedang … .” Suara Arda terhenti saat dia sadar telah salah memilih kalimat. Bram menjawab dengan tertawa.
“Salah sendiri menikah terburu-buru.”
“Ada yang salah dengan menikah terburu-buru.”
“Bukankah lebih baik kamu memacarinya dulu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay
RomanceSetelah bangkrut, diselingkuhi pacarnya, dan menjadi pengangguran, Arda menemukan keberuntungan hidup ketika menikah dan bekerja sebagai pengawal pribadi seorang konglomerat. Menikahi Eveline tidak hanya seperti mendapat sebuah berlian, ini juga se...