Bram menoleh cepat ke arah Arda setelah mendengar kalimat yang mengejutkan. Arda tetap berusaha memfokuskan matanya pada gerak-gerik Tuan Markus dalam acara lelang barang berharga. Di tempat yang aman seperti ini pun, Arda tetap terbawa sikap siaga. Bahkan meski tampaknya dia mengobrol santai dengan Bram, pandangannya tetap tertuju pada Tuan Markus. Beda dengan Bram yang akhirnya tidak tahan ingin menatap langsung Arda yang baru saja membuat pernyataan konyol.
“Menikah dengan Eveline?” tanya Bram terkejut.
“Tidak ada alasan untuk tidak menikahinya, kan?”
“Tentu ada. Kalian baru kenal.”
“Sudah cukup mengenalnya, Bram.”
“Bilang saja, kalau kamu memang sedang kesal karena kesendirianmu setelah ditinggal pacarmu. Pernikahan ini hanya plester untuk luka-lukamu.”
“Bukankah itu dihitung sebagai sebuah usaha untuk melupakan? Kurasa itu masih legal.”
Arda menyadari betapa cepatnya keputusan itu diambil. Yang ada di pikirannya saat melamar Eve hanya sebuah kesempatan untuk membuatnya bersenang-senang lagi. Dia punya teman untuk melampiaskan romansanya yang hilang. Satu lagi, Arda akan sangat antusias ketika sedang tidak bekerja dan melewatkan malam-malamnya bersama Eve, ketimbang berada di rumah yang terlampau besar milik Tuan Markus.
“Aku tidak yakin kamu segampang itu melupakan mantanmu.”
Arda hanya diam sambil mengamati orang-orang kaya yang sedang memperebutkan sebuah perhiasan langka dengan mempertaruhkan kekayaan mereka. Sekarang, mereka tidak jauh beda dengan Arda. Bertaruh untuk mendapatkan prestise dan kesenangan. Arda tidak mampu menolak kebersamaan yang menyenangkan dengan Eveline. Di sisi lain dia juga sepertinya sangat ingin menjaga gengsi pada Alisa dan pacarnya, bahwa dia bisa melanjutkan hidup. Arda menahan diri untuk tidak terlalu lepas mengiyakan prasangka Bram, meski itu jelas-jelas sangat benar. Itu akan memancing pelbagai petuah yang keluar bersama cipratan air liur Bram yang terlalu banyak bicara itu. Apalagi saat Bram bertanya perihal waktu pernikahan.
“Apa?! Minggu depan! Gila kamu, Ar!”
“Kenapa?”
“Kenapa? Karena kamu tidak bilang padaku sebelumnya. Kamu pikir bisa seenaknya pergi meninggalkan perkerjaanmu untuk menikah.”
“Kami menikah sederhana. Tercatat negara saja sudah cukup bagus. Orang tuaku jauh, Eveline tidak punya siapa-siapa. Jadi kupikir aku bisa izin sebentar.”
Arda menghentikan kalimatnya, wajah Bram lebih meresahkan ketika dia merasa tidak dihormati. Arda hanya perlu percaya diri terlalu tinggi, dia yakin Bram memberinya waktu.
“Kita banyak pekerjaan, Ar!”
Arda tidak menjawab dan mengedarkan kembali pandangan pada orang-orang yang sibuk menyebutkan nominal yang di luar nalar Arda. Dia memasang muka masam, sedikit mencebik, tanda ingin belas kasihan Bram. Kini dia hanya bergantung pada rasa simpati Bram terhadap masa lalunya yang tragis. Bram menggeleng tidak percaya sikap itu bisa meluluhkannya.
“Ok, fine. Tidak lama-lama, aku harus melihat batang hidungmu pukul lima sore. Tuan Markus ada pertemuan.”
“Hehe, makasih, Bos!” sambu Arda cengengesan.
“Aku tidak percaya kamu bisa bodoh seperti ini. Pikiranmu selalu saja pendek. Kamu tahu diantara Ken, aku, dan Tuan Markus, kurasa hanya kamu yang terlampau lurus, tapi sayang bodoh.”
Arda mengangkat bahunya sambil mencebik. “Yah, mungkin hanya itu yang kupunya.”
“Tapi harusnya kamu juga punya sedikit kebijaksanaan, Ar. Coba lihat orang tua bangsat itu.” tunjuk Bram dengan mengangkat sedikit dagunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay
RomanceSetelah bangkrut, diselingkuhi pacarnya, dan menjadi pengangguran, Arda menemukan keberuntungan hidup ketika menikah dan bekerja sebagai pengawal pribadi seorang konglomerat. Menikahi Eveline tidak hanya seperti mendapat sebuah berlian, ini juga se...