13. What if

26 5 10
                                    

Belum pernah Eveline menenteng tas belanjaan seribet ini. Kini dia perlu mengisi lemari pendinginnya dengan lebih banyak makanan. Lebih tepatnya dua kali lipat dari biasanya dia belanja ketika masih single.  Dia akan sendirian dalam beberapa waktu ke depan, tetapi tidak etis lagi jika dia tidak menyiapkan segala sesuatu ketika Arda datang.

Arda benar-benar tidak menyulitkan Eve dalam hal kebutuhan di apartemen. Tidak ada barang khusus yang harus sesuai dengan kriteria Arda ketika mengisi keranjang belanja. Selera mereka berdua sama. Firasat semakin membawa Eve melanglang ke tahun-tahun berikutnya. Ini akan jadi pernikahan yang menyenangkan, gumamnya. Berada dalam satu meja makan, berbicara tentang segala sesuatu yang menyenangkan, dan dengan selera makan yang sama, Eve tidak sabar menantikan Arda kembali dari tugasnya.
 
Eve melangkahkan kaki dengan kecepatan konstan mengikuti lagu yang terdengar dari earphone. Satu lagu dengan beat yang cepat, memberi efek riang di pagi yang cukup cerah. Rambutnya yang dibiarkan tergerai seperti meloncat-loncat mengikuti derap langkahnya. Sesekali dia tersenyum pada siapa saja yang dipilihnya secara random. Dia tidak ingin bahagia itu disimpannya sendiri.

Lalu senyum itu tiba-tiba saja padam, ketika sebuah mobil menepi dan melaju pelan mengikuti kecepatan langkah Eve. Sang pengemudi menurunkan kaca untuk memperlihatkan wajah sebagai isyarat yang membuat Eve menghentikan langkahnya seketika. Tidak ada salam atau anggukan untuk basa basi. Eve membiarkan sedikit waktu hanya dengan diam, sebelum akhirnya si pengemudi itu sadar setelah Eve mengangkat dua kantong yang membuatnya tidak bisa membuka pintu mobil.

Si pengemudi  yang mengenakan kemeja dengan kacamata hitam itu pun turun dan membukakan pintu belakang untuk Eve.  Tanpa perlu ada kata-kata dan kontak mata, mereka melakukan gerakan masing-masing. Eve sengaja menempatkan kantong belanja itu di bagian tengah. Dengan alasan agar terlihat seperti sebuah pemisah dengan orang yang ada di sebelahnya. Seakan tidak menganggap ada seseorang di sampingnya, Eve sibuk sendiri merapikan rambutnya tanpa menoleh ke sebelah.

“Tidak biasanya kamu belanja sebanyak ini.”

“Aku punya seseorang yang menetap di apartemenku untuk selamanya,” jawab Eve dengan mengamati kaca jendelanya.

“Apa kamu akan menjadi sekaku ini seterusnya karena menikah?”

“Mungkin. Aku sudah punya suami. Aku harus punya batasan.”

“Aku masih merasa kamu melakukan sebuah lelucon, Eve. Ini bukan dirimu. Menikah terlalu cepat dengan orang yang baru saja kamu kenal, sungguh tidak masuk akal.”

“Sudahlah, Stan. Sadarlah. Ini sudah terjadi. Aku sudah menikah. Terlepas itu sebuah lelucon atau bukan, bukanlah urusanmu.”

“Mungkin kamu juga perlu disadarkan dari sikapmu yang impulsif. Kamu bertindak tanpa banyak berpikir.”

“Wow, aku kecewa kamu berpikir seperti itu padaku, Stan!” Eve menoleh dengan tatapan pada Stan untuk pertama kalinya sejak dia masuk dari mobil sedari tadi.

Stan melemparkan sebuah amplop coklat yang jatuh di pangkuan Eve. Sebuah amplop yang sedikit menggembung di tengahnya, menandakan benda itu tidak hanya berisi lembaran kertas tipis. Eve membuka sedikit lalu meninggalkan rasa penasaran dan gengsinya dengan tidak mengeluarkan isi amplop itu.

“Ini apa?”

“Paspor, nama baru, tempat tinggal baru. Jika setuju kuuruskan tiket perjalananmu.”

“Lalu kotak kecil tadi apa?”

“Buka saja.”

Eve meraih amplop coklat tadi dan merogoh kotak kecil warna hitam. Eve memberi waktu untuk tidak langsung membuka. Firasatnya mengatakan ini hal yang harusnya dihindari.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang