Kemeja itu sekarang menjadi barang yang dimusuhi Arda. Dengan satu tangan yang dibelat, sangat menyusahkan untuk dimasukkan dalam lengan kemeja. Berkali-kali dia mengayunkan tubuhnya agar lengan kemeja itu berputar ke depan, sehingga bisa diraih oleh tangannya yang terluka. Ya, itu rencana saja, nyatanya Arda memraktekkan hal itu dan terasa menyakitkan.
“Ah bodoh, harusnya yang sakit dulu.” Sedari tadi hanya berkutat urusan kemeja, menggerutu tanpa henti, tapi ternyata hal yang dilakukannya secara sadar untuk mengalihkan perhatian itu, ternyata tidak cukup efektif.
Arda terengah-engah setelah berhasil memasukkan kemejanya. Terduduk dan menerawang ketika akhirnya ada celah kekosongan dalam otaknya yang kini terisi Eveline.
Bagaimana bisa urusan Eve bisa dialihkan hanya dengan urusan kecil yang receh seperti itu.
“Ini bukan kamu Eve, atau aku memang belum mengenalmu.” Tubuhnya disandarkan di kursi, kepalanya menengadah berkali-kali membuat sebuah bayangan wajah istrinya di langit-langit.
Suara dehaman membuat Arda terbangun. Ken sudah berada di pintu menyapa tanpa kata, hanya dengan lambaian.
“Kuakui kamu kuat. Tapi jangan sombong dulu.”
“Bagian mana yang kamu lihat, dan membuatmu berkesimpulan aku sedang menyombongkan diri.” Arda mengangkat tangannya yang luka. “Ini?”
Ken berdesis tidak menanggapi.
“Kamu ditunggu Tuan Markus.”
Arda menjawab dengan anggukan, memandang Ken tanpa putus sampai menghilang dari pintu. Obrolan singkat tadi baru saja dirasakan Arda sebagai sebuah perhatian kecil. Kadang Arda menunggu ejekan lain masih tertinggal.
Dugaannya terjawab dengan bayangan Ken yang kembali muncul, lalu senyuman aneh akibat menahan tawa.
“Kamu yakin tidak perlu kursi roda, Ar?”
Arda melirik kakinya yang tidak ada kejanggalan. Dia berdiri lalu berjalan ke luar kamarnya dan berhenti di depan Ken.
“Sepertinya yang kuperlukan hanya gandengan tanganmu, Ken.” Telapak Arda menyusup ke tangan Ken, menggenggam dengan erat. Ken menolak dengan meronta.
“Jijik!” seru Ken mendorong Arda. Tangannya kemudian reflek mencengkeram lengan yang terluka, sayang Arda lebih cepat.
“Masih diterusin?”
Ken mengangkat kedua tangannya tanda selesai. Dia tersenyum puas.
“Aku tidak tega.”
“Bullshit.”
Arda berjalan dengan Ken tidak jauh di belakangnya.
“Hei aku turut prihatin soal istrimu, sungguh.”
“Kamu mau mengejekku lagi.”
“Apa kalimat tadi terdengar mengejek?”
“Mungkin. Biasanya kamu meninggalkannya di belakang.”
“Aku serius. Mungkin istrimu itu ingin mengujimu, Ar.”
“Tidak perlu ikut campur jika tidak paham masalah.”
“Feelingku dia ingin dicari, Ar.”
Arda berbalik, tertarik dengan ucapan Ken.
“Oke, mungkin sekali-sekali aku harus mendengarkanmu. Jadi aku harus mulai mencari dari mana? Kolong tempat tidur.”
Ken berdesis. “Jika kamu butuh bantuan, panggil aku.”
“Memangnya kamu apa? Detektif?”
“Sebut saja sambilan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay
RomanceSetelah bangkrut, diselingkuhi pacarnya, dan menjadi pengangguran, Arda menemukan keberuntungan hidup ketika menikah dan bekerja sebagai pengawal pribadi seorang konglomerat. Menikahi Eveline tidak hanya seperti mendapat sebuah berlian, ini juga se...