12. Fake Kiss

28 5 12
                                    

Dua jam sebelum bertugas mengantar Lea, Arda sudah siap dengan setelan yang beda dari biasanya. Dia memilih kemeja warna hijau army. Tidak seperti biasanya dia memasukkan kemeja itu dan merapikan ke dalam celananya, kali dia membiarkan bagian bawah kemeja terbebas, serta lengannya digulung sampai siku. Tidak ada yang perlu dipermanis lagi dari bagian tubuhnya. Cukup deodoran dan dua kali semprotan tipis minyak wangi.

Pagi itu Arda cukup senang karena dia bisa kembali pada masa ketika dia membebaskan rambutnya dari minyak rambut. Baginya itu tidak nyaman. Selama bekerja di Tuan Markus, dia menahan rasa lengket dan bau yang tidak dia suka, meski membuat penampilannya jadi lebih sempurna. Dia tidak perlu menata rambutnya yang sebenarnya tidak terlalu rumit untuk dirapikan. Sesekali dia membasuh dengan air, lalu jadilah pangeran tampan. Pagi itu, sepertinya dia tidak terlalu terbebani dengan kerapian bagian atas tubuhnya.

Dengan sepatu kets satu-satunya yang dia punya, kakinya melangkah dengan membawa perut yang lapar ke arah dapur. Jam 6 pagi itu, dapur yang sekaligus jadi tempat makan, biasanya sudah mulai ramai para pegawai di rumah Tuan Markus untuk mengisi bahan bakar mereka sebelum menjalani aktivitas. Nyonya Sena, sang koki benar-benar memanjakan Arda yang kadang diam-diam membuatkan snack spesial. Seringkali Arda beruntung mendapatkan cemilan yang bagi Arda jarang dimakannya. Bahkan untuk namanya saja dia perlu bertanya.

“Selamat pagi, pengantin baru,” sapa Nyonya Sena dengan mencubit gemas pipi Arda. Meski diperlakukan seperti anak kecil yang manja, Arda merasa nyaman dengan hal ini.

“Ini sarapanmu.” Nyonya Sena menyodorkan sepiring kentang tumbuk, sayuran dan omelet. Arda mengecup pipi wanita bertubuh besar itu sambil membisikkan ucapan terima kasih. Baginya, setiap wanita paruh baya yang selalu baik, akan mengingatkannya pada sosok mama yang jauh darinya. Arda tidak peduli untuk dianggap sebagai anak mama karena kedekatannya dengan Nyonya Sena. Karena begitulah dia dengan mamanya. 

“Kembali muda sekali kamu,” ucap Nyonya Sena sambil mengacak-acak rambut Arda yang kini berubah menjadi pemuda usia sekolah. Dia tertawa sambil membuka kulkas dan mengambil sekotak susu.

“Aku dari dulu begini.”

“Tapi aku lebih suka dengan setelan jasmu. Gagah sekali dan lebih dewasa.”

“Kalau sekarang?” Arda mengangkat alisnya dan tersenyum.

“Playboy kampus.”

“Oh really? Padahal aku sangat setia dengan satu wanita.”

“Yah, percaya, sampai sulit melupakan, bukan? Setidaknya kamu sudah menemukan pengganti yang cukup cantik, meski aku menyayangkan kamu menikah secepat ini.”

“Astaga … “ Arda mengurut pangkal hidungnya untuk meringankan kepalanya yang tiba-tiba pening mendengar hal itu lagi dan lagi. 

“Hei, tapi aku ada di pihakmu. Sungguh. Semoga bahagia dan langgeng, ya. Buruan selesaikan sarapanmu. Dia sudah menunggumu?”

“Dia?”

“Nona Lea.”

“Dia sudah bangun?”

“Sudah sarapan malah, jadi kupikir dia sudah siap berangkat. Dia mencarimu tadi.”

Arda meletakkan sendok dan menatap Nyonya Sena dengan tidak percaya. Dalam bayangannya, dia akan mendapati gadis itu masih berselimut dalam kamar setelah Arda selesai sarapan. Dia sempat berpikir bahwa itu sebuah lelucon, tetapi ketika gadis yang sedang dipikirkannya itu tiba-tiba masuk ke dapur, siap untuk berangkat dengan pakaiannya yang rapi, Arda buru-buru menutup mulutnya yang sempat dibuat melongo.

“Berapa menit kamu selesai sarapan?” Lea meletakkan tas ranselnya di atas meja dekat dengan piring Arda, lalu memangku wajahnya dengan telapaknya untuk mengejek Arda.

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang