5. Marry me

22 5 8
                                    


Arda merasakan tekanan pada kandung kemihnya. Bukan hanya itu yang membuat dia bangun, tetapi sinar matahari yang cukup menyilaukan itu pertanda bahwa hari sudah sangat siang. Dia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu terkejut dengan kondisi tubuhnya yang tidak seperti biasa dia bangun.

Dia baru sadar ternyata tertidur di sebuah sofa. Sambil duduk di pinggirannya, Arda mengamati tubuhnya yang hanya mengenakan kaos tanpa lengan dan celana bokser. Ini bukan kostumnya ketika biasanya hendak pergi tidur. Pandangannya mengitari keseluruhan ruangan yang sudah tidak asing lagi lalu tubuhnya dihempaskan pada sofa sambil meremas kepalanya yang masih terasa pusing. Di situ dia ingat sesuatu. Eveline.

"Pagi, Tuan bodyguard!"

Suara itu datang dari arah dapur, sekilas Arda melihat wajah Eveline celingukan lalu menghilang lagi ditelan pintu dapur. Arda masih saja mengusap kepalanya untuk mengingat sesuatu, tetapi yang tersisa hanyalah nyeri kepala dan ingatan kecil tentang ciuman yang tidak terduga, dan kini membuatnya tersenyum.

"Bisa bantu aku jelaskan, kenapa aku jadi seperti ini?" tanya Arda setelah berjalan ke dapur, lalu menunjuk tubuhnya dari atas sampai bawah.

"Oh itu, bajumu bau banget. Kamu ketiduran. Aku jijik lihat orang tidur dengan baju kotor seperti itu." Eveline menunjuk sebuah kemeja lengkap dan celana yang tergantung di sudut ruangan.

"Itu sudah bersih dan wangi."

"Jadi kamu membuka bajuku saat aku tertidur?"

"Hei tidurmu kayak orang mati, Ar. Sudah kucoba berulang-ulang dan kamu malah mendengkur kencang." Eveline membalikkan tubuhnya kembali fokus pada omelet. Dia khawatir Arda akan mengetahui sesuatu dari raut wajahnya yang berusaha untuk berbohong. Arda masih saja mengerutkan keningnya bingung. Tidak pernah dia tidur dengan kondisi sangat tidak sensitif dengan gangguan semacam itu.

"Kita semalam ngapain?" tanya Arda mendekat. Hal itu membuat Eve mematikan kompornya. Dia perlu memainkan peran baru di depan Arda, menyembunyikan perihal Arda yang terkena sedasi hebat saat Eve memasukkan obat dalam minuman Arda semalam.

"Nothing. Hanya ciuman."

Eve memainkan wajah paling polos, tanpa ada unsur menggoda. Hanya menampilkan wajah rasa bersalah, bukan karena berhasil membuat Arda tertidur dan meretas ponselnya setelah dibantu Maxi dan Pat semalam, tapi karena Eve merasa dia tidak seharusnya melakukan hal itu pada orang yang semalam baru saja membuat dirinya seperti menemukan keindahan. Rasa yang tidak pernah dia sentuh.

Dua pasang mata itu saling pandang, dan makin canggung. Arda mengira terjadi sesuatu, Eve takut kalau Arda curiga. Bunyi teko membuat keduanya berjingkat kaget, dan berhasil mencairkan suasana yang sempat kaku. Arda bergeser untuk mematikan api di bawa teko. Eve kembali berbalik pada telurnya, berniat membuat porsi kedua untuk Arda.

"Kamu mau telurnya dicampur apa? Keju, paprika, jamur, tomat?"

"Boleh. Semua."

"Oke."

Percakapan pagi itu hanya diisi oleh kalimat yang teramat singkat. Arda masih saja berdiri menggaruk kepalanya, tidak tahu harus berbuat apa selain bertanya tentang semalam, karena masih saja di luar jangkauan nalarnya. Ciuman, obrolan, dan tidur begitu saja. Tidak mungkin, gumam Arda dalam hati.

Ada sesuatu yang mereka rasakan, dan itu hanya mereka sendiri yang tahu, sayangnya itu hanya bisa tersimpan di ruang masing-masing. Bahwa mereka menikmati ciuman itu semalam. Bukan hanya itu soal nafsu ketika dua orang yang berbeda jenis semakin dekat, tetapi ada ruang kosong dalam hidup Arda dan Eve yang akhirnya terisi penuh.

"Kamu bisa mandi, aku punya piyama kuletakkan di kasurku. Mungkin agak kecil. Atau kamu bisa langsung pakai kemejamu, lalu kembali ke Tuan Markus."

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang