Sweet Night

72 16 2
                                    

Alam

At some point, gue kok selalu ngerasa hal-hal yang gue rencanakan punya persenan kegagalan lebih tinggi dibanding sesuatu yang terjadi secara spontan, kayak was-wes-wus, tau-tau udah jadi? Persis malam ini ketika gue pulang setelah menemui kawan-kawan yang sudah lama tak bersua, melihat bagaimana gedung-gedung ibu kota tinggi menjulang mencakar langit membuat gue selalu terkagum-kagum, bagaimana cara manusia membangun sesuatu yang jauh lebih besar dari tubuhnya sendiri? 

Dari jauh gue melihat gedung rumah sakit yang gue yakini itu tempat Janitra Ekalaya bekerja, thanks to Mamah yang gak pernah berhenti ngomong soal betapa bangganya dia punya tetangga dokter yang bekerja di rumah sakit nomor satu di Jakarta itu. Suara yang keluar dari radio merdu menyapa telinga gue membuat pikiran gue saling beradu, tentang haruskah gue berjalan lurus atau membelokkan mobil SUV hitam pekat yang gue kendarai ini berbelok di perempatan depan sana?

On my pillow
Can't get me tired
Sharing my fragile truth
That I still hope the door is open c
ause the window opened one time with you and me
Now my forever's falling down
Wondering if you'd want me now?

Dan ketika mobil yang gue kendarai semakin dekat, gue tau bukan lagi saatnya untuk menimang-nimang. Dengan sadar gue membanting stir ke kanan, membuat para pengguna jalan membunyikan klakson atau mungkin memaki-maki gue karena langsung berbelok tanpa aba-aba dari lampu sein. Bodoh amat. Katakanlah gue sedang mencoba peruntungan, karena gue yakin kemungkinan besar gue gak bisa tidur kalau gue tidak memutuskan untuk nekat malam ini. Lagian gue selalu bisa pulang kok, tapi kalau tidak memberanikan diri untuk mengajak  Janitra Ekalaya pergi bersama gue malam ini, gue gak jamin apakah besok-besok gue masih ada kesempatan.

Toh kalau bertemu, maka itu adalah takdir. Tapi kalau tidak, anggap aja takdir belum berpihak pada gue.

Dan itulah alasan kenapa gue bisa terlibat drama kecil yang disandiwarakan oleh Mas-mas cengeng di depan gue ini. Karena gak ada pilihan lain dan gue juga capek ngeliat si Mas ini daritadi merengek-rengek sama Janitra Ekalaya, gue merogoh ponsel lalu menekan-nekan layarnya. Little did he know, yang gue telepon bukan polisi sebagaimana ancaman gue ke dia. Tapi si Sandra yang misuh-misuh ke gue yang tiba-tiba nelpon dan bawa-bawa kabar penculikan.

"Polisi-polisi, pala lu licin!"

Dan begitu pula alasan mengapa gue dan Janitra Ekalaya end-up di restoran pinggiran ala Paris ini, yang salah satu menu side-dishnya mirip-mirip amplang udang.

"Ini kalau crepe kayak gini mah warung ibu Yamin depan komplek juga jual gak sih, Lam?" Ujar cewek di depan gue yang daritadi mencomot cemilan udang ala Perancis itu.

"Ini kalau crepe kayak gini mah warung ibu Yamin depan komplek juga jual gak sih, Lam?" Ujar cewek di depan gue yang daritadi mencomot cemilan udang ala Perancis itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue ketawa, menyetujui kalimat dia barusan. For real tho, gue gak ngerasa waktu saking asiknya topik pembicaraan kita yang gak ada abisnya. Mulai dari bahasan soal kerjaan, lapangan komplek, episode spongebob yang paling sedih, eksil politik di masa pemerintahan sang jenderal, sampai kenapa nama Sandra berubah jadi Surti.

Pretty Janitra Who Buys Me Food | Jennie, JuyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang