Alam
Tau gak sih, tempat paling nyaman buat sederhananya kata pulang adalah sebaik-baiknya tempat yang paling akrab sama diri lo. Entah 'tempat' itu sendiri menggambarkan suatu subyek, obyek, ataupun keterangan yang cuma diketahui dan dipahami oleh si empunya presepsi 'tempat' itu sendiri. Bagi gue, tempat pulang yang terbaik adalah sesederhana blok pojok di komplek rumah gue.
Blok pojokan
Begitu orang menyebutnya, alih-alih nyebut 'Blok F'. Alasannya sesimpel Blok ini berada dipaling pojok dan paling gak keliatan karena sebelum pembelokan mengarah ke Blok F kalian mesti melewati Pohon Beringin yang konon ditinggali oleh nenek-nenek memakai baju kebaya, cerita legenda yang turun-temurun diberitahukan kepada anak-anak kecil yang menolak pulang ketika suara adzan menyapa telinga.
Gue sejujurnya merasa kasihan dengan si Pohon Beringin, selalu saja dijadikan kambing hitam ibu-ibu kompleks buat menyeret anaknya pulang yang kebetulan bermain di lapangan depan pohon tersebut. Bukti bahwa penampakan si nenek gue yakin benar belum pernah ada yang melihatnya, tapi kalaupun suatu saat dia mau memperlihatkan diri.... please jangan sama gue.
Alasan yang menambah julukan tersebut ialah, karena di Blok F ini cuma ditempati tiga rumah which is gak ada rame-ramenya. Semakin jadilah kesan 'pinggiran' oleh blok pojokan tersebut. Tapi, gue selalu bersyukur bahwa pinggiran kompleks ini dari dulu dari jaman gue masih bocah ingusan yang dibedakin sama mamah sampai gue pulang lagi ke tempat yang jadi saksi bisu separuh kisah hidup gue ini, tetap sama hangatnya.
Gak tau mau jelasinnya dari mana, tapi orang tua gue adalah perantau, meninggalkan kampung halaman yang jauh berada di wilayah barat Indonesia. Hal ini yang membuat kami gak punya keluarga ataupun kerabat dekat di kota tempat gue tinggal, beruntungnya ada orang asing yang menjadi tetangga kemudian tanpa sadar akhirnya menjadi keluarga terdekat. Gue selalu bahagia lahir dan tumbuh di tempat ini. Blok Pojokan.
Ngomongin soal pulang, Gue akhirnya balik lagi ke Indonesia setelah menghabiskan waktu enam tahun di kiblatnya globalisasi (kata buku cetak ips gue pas SMP), di Negeri Paman Sam, Amerika Serikat.
Lebih tepatnya di San Fransisco, Sillicon Valley, Lembah Teknologi.
Gue selalu berpikir kalau Bapak Jokowi bakalan cocok disana, kenapa lagi kalo bukan slogannya yang 'Kerja!Kerja!Kerja!' yang sangat menggambarkan lembah raksasa teknologi yang hampir setiap hari terasa seperti kompetisi dan kegagalan satu jengkal dibelakang kepala. Selama disana gue menuntut diri untuk bisa memikirkan hal baru apa yang bisa gue persembahkan ke dunia, hal apa yang belum ada di dunia ini dan bisa membuat gue mengubah dunia itu. Tidak sampai salah satu senior gue di Indonesia yang terakhir kali kabarnya gue dengar lagi-lagi dengan kegagalan bisnisnya menelfon gue di pagi buta, "Alam, mau gak lo mengubah Indonesia bersama gue?"
Buset, dikira Bung Soekarno-Hatta kali ya kita?
Gak deng, canda.
Tapi apa yang beliau bilang pagi itu disaat gue lagi setengah sadar di depan komputer yang udah gue tatap selama berpuluh-puluh jam lamanya membuat gue menimbang mungkin sudah saatnya gue pulang ke Ibu Pertiwi.
"Firasat gue Lam, bilang kalo suatu saat manusia bakal sampai di masa-nya buat terbelenggu dengan keterpaksaan. Gue mau, disaat kita asing dengan kebebasan, ada satu aja yang buat kita bernafas bebas. Dan itu tugas kita Lam buat cari satu hal itu!"
Ah kedengaran terlalu ngawur memang, tapi dari situ gue paham. Paham kalo apa yang gue tuntut di tanah asing ini adalah gak sepenuhnya benar, gak ada berhentinya ketika disuruh memikirkan hal baru apa yang bisa membuat dunia yang tua ini gempar.
Harusnya gue bisa lebih berpikir sederhana,
"Apa sih yang sebenarnya dunia ini butuhkan?"
Segara Alam, nama gue. Umur 26 tahun. Laki-laki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Janitra Who Buys Me Food | Jennie, Juyeon
Fiksi PenggemarJanitra Ekalaya, aku berdoa dimana pun kamu berada semoga kamu selalu dilindungi Tuhan. Dari Segara Alam. cast ; jennie, juyeon