Diam-diam

181 11 0
                                    

Jam dinding sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam, kaki jenjang milik Ayana pun kini berjalan dengan sangat hati-hati berharap tak mengganggu istirahatnya Candra malam ini.

Dengan sangat hati-hatinya ia membuka pintu untuk keluar malam ini, meski terlambat ia harap perayaan syukuran ulang tahun Marteen masih berlangsung.

Buru-burulah ia keluar rumah, mendorong sepeda motor dengan pelan-pelan hingga keluar gerbang.

Senyum penuh kemenangan pun kini terpancar dari raut wajahnya ketika dirinya telah menjauh dari rumah yang sederhana itu.

Ada rasa bangga tersendiri dalam dirinya kala ia berhasil keluar malam dari rumah Candra, pasalnya semenjak ia tinggal disana ia tidak pernah lagi ikut tongkrongan malam bersama para sahabatnya. Aturan yang Candra buat, mau tidak mau harus ia turuti jika tidak? Hukumannya akan lebih berat dari yang ayahnya kasih. Ya, sesuai surat perjanjian yang mereka tulis masing-masing dulu.

Hembusan napas lega pun turut mengantarkannya ke pekarangan rumah Asep yang selama ini menjadi tempat tongkrong mereka selain di cafe milik temannya.

"Eh si teteh, baru datang teh?" tanya Elang saat Ayana hendak membuka knop pintu.

"Iya, darimana kamu Lang?" tanya Ayana mengernyit heran, pasalnya Elang menghampirinya dari halaman samping rumahnya.

"Habis dari belakang, kenapa teh? Hayu atuh masuk, mumpung semua pada kumpul" ajaknya dengan ramah bahkan Elang tak canggung menarik lengan Ayana untuk memasuki rumahnya.

"Aduh si neng gelis, baru kesini malam-malam. Teu nanaon kitu, ih ambu mah meni khawatir" seru Nita cepat-cepat menghampiri Ayana. Mengecek semua keadaan Ayana dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Hehehe, iya ambu gak papa kok soalnya Aya baru bisa keluar" jawab Ayana cengengesan.

"Tumben, gak takut sama bapak lo?" tanya Marteen dengan kekehan. Cengiran kuda Ayana lontarkan, ia berjalan mendekat kearah Marteen yang tengah menatapnya.

"Demi lo apa yang ditakuti? So ..." ucap Ayana menggantung. Senyuman bahagia Marteen lontarkan dengan kedua alis ia angkat tinggi seakan bertanya 'apa?'

"Happy birthday bro, wiss you all the best" rangkul Ayana dengan haru.

"Aduh teh sanes muhrim, lepas-lepas" tegur Elang segera menghampiri Ayana dan melepaskan rangkulan Ayana dari pundak Marteen.

"Lah ini apa Lang, katanya bukan muhrim kok pegang-pegang" ucap Ayana menyudutkan seketika semua orang menertawakan Elang yang segera melepaskan genggamannya dari tangan Ayana.

"Ih kitu wae si teteh mah, pasti ada aja yang bikin Elang tersudut" kesalnya.

"Ya, sory" maaf Ayana cekikikan.

"Bawa apaan tuh? Kado buat gue ya?" tanya Marteen dengan pedenya. Ayana melirik pada toot bag yang ia bawa lalu ia mengangguk.

"Nih buat lo, sesuai yang lo minta bulan lalu" kekeh Ayana memberikan tote bag pada Marteen.

"Wih mantap! Makasih loh ya," ucap Marteen dengan kegirangan menerima kado darinya.

"Sudah makan ya? Makan gih, kita sisain banyak buat lo" titah Asep mendorong tubuh Ayana ke meja makan.

"Buset, ini yang punya hajat siapa sih? Kok jadi tuan rumah yang menjamu, woy Teen bae-bae lo sama si Asep dan keluarganya yang udah peduli gini sama lo!" teriak Ayana dengan Candaannya.

"Pastilah kan Ambu sama Abah udah gue anggap sebagai orang tua gue sendiri. Ayo dimakan jamuannya!" teriak Marteen geli.

"Banyakin bersyukur lo Ten, gue sama yang lain masih bisa nerima lo apa adanya, masih bisa bertahan juga selama ini meski lo terkadang bersikap dingin dengan kita," ucap Guntur dengan menjitak kepala Marteen.

Can Is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang