Gadis Manipulatif

26.1K 3.3K 55
                                    

Setelah pertengkaran tadi malam, Calton tampak lebih banyak diam. Ada sisa amarah yang masih tersimpan untuk kembarannya itu. Apalagi melihat Carlos yang tidak terliha bersalah. Dia semakin geram, tapi ditahan sekuat tenaga. Dia hanya tidak ingin menambah gosip tak sedap tentang keluarganya. Cukup tentang Ellanor yang selalu dierbicangkan oleh orang-orang, Calton tidak ingin keluargnya semakin tercoreng.

"Hey, itu bukannya Ellanor!" Nathan berseru lantang sambil menunjuk seseorang yang tak lain adalah Ellanor.

Sontak semua orang menatapnya, terutama Calton. Dia meneliti penampilan sang adik yang tampaknya baik-baik saja. Tidak ada bekas luka ataupun cidera. Padahal dia cukup khawatir setelah mendengar pengakuan Carlos yang menyewa beberapa orang untuk menghajar Ellanor. Carlos benar-benar gila. Setidak sukanya dia pada Ellanor, Calton tidak pernah terbersit untuk melenyapkan adiknya itu.

"Sepertinya dia baik-baik saja," kata Nathan yang ternyata juga memperhatikan keadaan Ellanor.

Calton berdehem dengan perasaan lega. Sedangkan Carlos malah menajamkan tatapannya, tampak tak puas dan geram melihat keadaan Ellanor yang tidak sesuai dengan keinginannya. Tiba-tiba dia merasakan tepukan di bahu kanannya. Carlos menoleh dan menemukan wajah dingin Drake.

"Jangan terlalu benci, karena penyesalannya bisa sampai mati," ujarnya dengan tatapan penuh makna.

Carlos menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan bertanya. Jelas dia tidak bisa menangkap maksud ucapan Drake dengan cepat. Hatinya terlalu diselimuti oleh kebencian, sampai otaknya hanya bisa berpikir bagaimana cara menyingkirkan Ellanor.

"Eh, lihat! Dia kenapa!" Seruan Nathan kembali membuat tiga pria tersebut menatap ke arah depan. Di sana dia bisa melihat Ellanor yang berdiri menjulang dengan seorang gadis yang terduduk di tempatnya. Mereka mengamati dengan seksama, muncul banyak pertanyaan di otak masing-masing sebelum melangkahkan kaki mendekat ke tempat kejadian.

Sedangkan Ellanor yang awalnya melangkah dengan tenang, merasa terganggu dengan seseorang yang tiba-tiba menjatuhkan diri di depannya. Alisnya terangkat sebelah, dia mengamati sikap gadis tersebut yang mencurigakan. Apalagi muncul bisik-bisik yang membuat telinganya gatal.

"Eh, itu kenapa Stefi jatuh?"

"Pasti Vicy yang udah jahatin."

"Kasihan banget Stefi, ya. Masih pagi Vicy udah nyari gara-gara saja."

Ellanor tersenyum miring mendengarnya. Dia baru ingat, gadis itu adalah Stevy, gadis yang sering Vicy bully karena selalu berdekatan dengan Calton. Gadis yang bersikap lemah lembut dan menjadikan Ellanor sebagai antagonisnya.

"Sampai kapan mau duduk di bawah? Mau ngemis?" ejek Ellanor dengan suara keras. Tidak peduli dengan bisikan yang semakin mengecam sikapnya. Ellanor semakin mengangkat dagunya naik, bersikap angkuh.

Stvey mendongak dengan tataan bergertar. Dia merinding mendengar suara Ellanor yang terdengar berbeda di telinganya, seakan penuh dengan ancaman. "Ak—aku maaf, Vicy."

Ellanor menggeleng dengan gerakan pelan. "No no no! Aku bukan lagi Vicy, but I'm Ellanor. Inget-inget, ya!"

"I ... ya, Ellanor," jawab Stevy yang kembali menunduk dengan tubuh bergetar.

Ellanor merasa ada beberapa orang yang mendekat ke arahnya. Bibirnya makin tertarik membentuk senyum miring. Dia makin tertarik dengan kelanjutan drama perempuan itu. Apalagi saat ini Stavy malah menangis, saat dia bahkan belum menyentuh perempuan itu.

"VICY ELLANOR!" teriak Carlos dengan suara yang menggelegar.

Ellanor menoleh dengan tatapan polos, seakan dia tidak tahu apa-apa. "Apa?" tanyanya santai.

Carlos yang tiba lebih dulu langsung membantu Stevy berdiri, tak lupa memberikan tatapan tajam pada sang adik. "Apa lagi yang kamu lakukan, hah! Tidak bisakan kamu diam dan jangan membuat ulah! Baru sehari kemarin kamu tenang, sekarang malah berulah lagi!" Bentakan dari Carlos nyatanya tidak berpengaruh sama sekali terhapada Ellanor.

Gadis itu masih bisa bersikap santai dengan senyum miring yang setia terpasang di wajahnya. Kedua tangannya bersidekap di depan dada, mengamati sikap sok pahlawan sang kakak yang terlihat sangat memuakkan. "Memangnya apa yang sudah aku lakukan, hum?"

"Kamu masih bertanya padahal jelas-jelas semua orang tahu kamu menjahati Stevy sampai dia jatuh!"

"Oh, ya? Orang siapa kamu maksud? Apa mereka benar-benar melihat aku menjahati gadis itu?" Ellanor memberikan tatapn remeh pada Stevy yang bertindak lemah dan mencari perlindungan. Lalu tatapannya beralih pada orang-orang yang berkerumun di sekitarnya. Ellanor menunjuk seorang anak cupu dengan kaca mata tebalnya. "Kamu sini!" panggilnya dengan keras.

Pria cupu itu menunjuk dirinya sendiri. "Saya?"

Ellanor berdecak dengan tak sabar. "Iya, kamu bodoh! Sini!"

Akhirnya pria yang entah siapa namanya itu mendekat, berdiri di samping Ellanor dengan jarak aman. Dia memandang Ellanor dan Vicy bergantian. "Ada apa?"

"Sekarang kamu jawab, sejak tadi kamu berdiri di depan pintu. Apa kamu benar-benar melihatku mencelakai jalang ini?" tanya Ellanor menunjuk Stevy dengan malas.

"Ellanor, jaga bicaramu!" sentak Carlos yang selalu meninggikan suaranya.

Ellanor berdecak kesal. Dia mendelik pada Carlos yang terus menggangunya. "Stt, diam bodoh!"

Carlos tampak tak terima dikatai bodoh. Namun saat dia akan menyela, tatapan tajam Drake membuatnya bungkam kembali. Dia hanya bisa menatap Ellanor denga benci, sementara rangkulannya pada Stevy semakin mengerat. Dia bisa merasakan ketatakutan pada gadis dalam rangkulannya itu.

Pria cupu itu tampak menarik napas panjang dan menggeleng pelan. "Tidak. Stevy tiba-tiba jatuh sendiri tepat di depan Ellanor," katanya dengan lugas. Tidak seperti siswa cupu lainnya yang akan berbicara gagap dan ketakutan, pria itu cukup lancar berbicara, apalagi dengan tatapan malas itu. Ellano menyunggingkan bibirnya dengan senyum tertarik.

Namun dia kembali mendatarkan wajahnya kala beribobrok degan tatapan sang kakak. "Sudah dengar, kan? Jadi bagian mana yang kamu bilang aku sedang menjahati gadis itu? Gadis itu saja yang lemah sampai terjatuh," ejeknya dengan tatapan lurus pada Stevy.

Carlos sebenarnya cukup malu, tapi dia tidak mungkin memperlihatkan ekspresinya dengan ketara. Dia tidak suka melihat wajah penuh kemenangan sang adik. "Tapi seharusnya kamu membantunya. Bukannya hanya melihat saja."

"Malas," jawab Ellanor cepat. Tatapannya bergulir malas, dia pura-pura menguap yang menekankan betapa drama tersebut membuatnya mengantuk. "Lagipula untuk apa aku peduli? Dia bukan siapa-siapa."

Carlos mengeram marah. Dia semakin tak suka melihat sikap sang adik yang tidak menghormatinya. Namun sebelum mulutnya kembali terbuka, suara bernada dingin membuat tubuhnya mematung.

"Lagi pula siapa di sini yang jahat, hum? Aku yang hanya diam melihat orang kesusahan, atau seorang yang katanya kakak tega menyuruh orang untuk membunuh adiknya?"

Meski diucapakan dengan nada pelan, tapi semua orang bisa mendengarnya dengan jelas. Terdengar orang-orang terkesiap sampai menutup mulutnya tak percaya. Mereka menatap Ellanor dan Carlos bergantian, seakan mencari kebenaran dari pengakuan Ellanor barusan.

Ellanor tersenyum miring. Dia menikmati wajah pucat Carlos karena banyak orang yang mulai menggunjingnya.

'Ah, lihatlah, Vicy. Muka babinya tampak marah dan takut secara bersamaan,' batinnya yang ingin berteriak keras.

Setelah melemparkan bom tepat di depan wajah sang kakak, Ellanor melenggang pergi begitu saja. Orang-orang spontan memberi jalan, tatapan mereka kali ini terlihat berbeda. Namun Ellanor jelas tidak peduli karena tujuannya saat ini adalah sampai di kelas secepatnya.

Sementara Calton, Nathan dan Drake yang sejak tadi menonton hanya bisa diam dan menjadi pengamat. Meski tatapan ketiganya tampak berbeda-beda menatap kepergian Ellanor. Gadis itu tampak banyak berubah.

"Ellanor makin keren," puji Nathan dengan decakan halus. Sontak kedua orang di sampingnya memberikan tatapan tajam. "Eh? Aku salah apa?" tanyanya tak mengerti. 



Bersambung.

Pembalasan Antagonis (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang