Julia mengetuk pintu ruang kerja sang suami. Sampai diketukan ketiga, seruan dari dalam menyuruhnya lekas masuk. Julia menarik napas panjang sejenak dan mendorong pintu perlahan. Tatapannya langsung disuguhkan dengan penampakan Dom yang sedang fokus dengan berkas di atas mejanya. Bahkan lelaki itu sama sekali tidak mendongak saat dirinya masuk.
Julia mengulas senyum tipis, menghampiri Dom dan berdiri di samping kursinya. "Sibuk sekali, ya?" tanyanya dengan suara lembut.
Dom melirik sekilas, memberikan deheman sebagai jawaban.
Julia masih tersenyum. Dia sudah terbiasa dengan sikap dingin sang suami. Ada hal penting yang harus segera mereka selesaikan. "Hmm, Dom, bisa bicara sebentar, please."
Mendengar nada permohonan sang istri, Dom menutup berkas yang serang dikerjakannya. Dia menatap Julia sejenak sebelum memberikan anggukan. "Kita pindah ke sofa," perintahnya yang langsung dituruti oleh Julia.
Mereka pindah duduk di sofa, berdampingan dengan tatapan saling berhadapan. Julia tampak memasang wajah rumit, ada kegelisahan yang menderanya.
"Ada apa?" tanah Dom yang memperhatikan sikap aneh Julia. Dia masih berusaha sabar melihat sang istri yang hanya berkomat-kamit tak jelas. "Julia!" panggilnya dengan penuh penekanan.
Julia tersentak kaget. Dia memasang senyum kaku pada sang suami.
"Apa yang ingin kamu bicarakan sebenarnya? Waktuku sangat sibuk, Julia!"
"Dom, bisakah kamu membawa Vicy kembali?" pinta Julia dengan hati-hati. Tatapannya tampak sangat memohon pada sang suami. Dia sadar hanya Dom lah yang memiliki kekuasaan penuh untuk membawa putrinya kembali ke mansion.
Jujur saja Julia sangat khawatir dengan keadaan putrinya di luar sana. Apalagi setahunya Vicy tidak terbiasa hidup mandiri. Putrinya itu pasti mengalami kesulitan di luar.
Dom memasang wajah datar, seakan tidak ada riak emosi di wajah tampannya. "Untuk apa? Untuk apa kamu meminta dia kembali kemari?"
"Dom, bagaimanapun Vicy adalah anak kita."
"Ralat, dia hanya anakmu. Bukan anakku," sela Dom dengan wajah kerasnya. Ekspresi tak suka terlihat jelas di wajahnya.
Julia menegang. Dia menatap sang suami dengan sorot terluka. "Kamu masih belum percaya denganku?" tanyanya lirih.
Dom membuang muka, enggan menatap sorot terluka Julia. "Bagaimana aku bisa percaya, jika aku melihat sendiri kamu berada di hotel dengan mantanmu itu."
"Aku dijebak, Dom! Berapa kali aku harus bilang. Aku dijebak. Aku tidak tahu kenapa aku bisa di sana dan ... dan tidur di kasur itu. Aku tidak ingat apa pun."
Dom mengeraskan rahangnya. Otaknya kembali mengingat kejadian belasan tahun lalu. Waktu yang menjadi titik baliknya, menghancurkannya berkeping-keping tanpa sisa. Semua karena wanita di sampingnya ini. Semua sikapnya sekarang karena ulah Julia di masa lalu.
"Mau dijebak atau tidak, aku melihat sendiri bagaimana kalian tidur telanjang berdua," katanya keras kepala.
Julia mulai terisak. Dia menatap Dom dengan pandangan yang sudah memburam. Hatinya sangat sesak melihat bagaimana sang suami yang terlihat enggan menatapnya. Bahkan sejak kejadian itu, mereka pisah ranjang.
Mereka bertahan dalam ikatan suami istri hanya untuk anak-anaknya. Bahkan Julia tidak yakin sang suami masih mencintainya. Mengingat perlakuan Dom yang berubah drastis.
Julia menunduk sedih. Hatinya sakit saat tidak ada yang mau percaya padanya. "Tapi bukan berarti kamu ikut membenci Vicy. Dia anakmu, Dom. Aku berani bersumpah untuk itu," lirihnya dengan suara lelah.
Dom mendengus keras. "Kamu tidur dengan lelaki lain dan setelah itu mengandung. Bagaimana bisa kamu percaya diri bahwa dia anakku?" Dom menatap Julia dengan remeh. Kedua tangannya saling mengepal. Tidak ada yang tahu apa yang dirasakan lelaki itu saat ini. Rasanya terlalu rumit.
Julia makin terisak keras. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Rasanya ini terlalu sakit. Selama ini dia bertahan demi putrinya, agar sekali saja Dom bisa berlaku adil selayaknya seorang ayah pada anaknya. Namun sebesar apa pun dirinya berharap, tetap saja lelaki itu berperilaku dingin pada Vicy.
Julia pernah mengajukan tes DNA, tapi Dom menolak tegas. Lelaki itu seakan terlalu takut menerima kenyataan yang akan membuatnya semakin hancur.
Dom melirik sang istri dengan dingin. Tangannya terangkat, berniat menenangkan wanita itu. Namun gerakannya terhenti di udara. Dom mengepalkan tangannya, dan menyimpannya kembali di atas paha.
Dom menarik napas panjang. "Saya akan menyuruh anak buah saya untuk membawanya," katanya setelah lama terdiam.
Julia langsung berhenti menangis. Dia menatap sang suami dengan tatapan tak percaya. Namun melihat Dom yang tampaknya sangat serius, bibirnya tersungging membentuk senyum tipis. Dia sangat bahagia. Bahkan Julia berniat memeluk sang suami untuk mengekspresikan kebahagiaannya, tapi sebelum itu terjadi Dom sudah beranjak. Seakan tidak sudi dipeluk olehnya.
"Jika sudah tidak ada yang perlu dibicarakan, saya akan kembali bekerja," ujar Dom dengan sedikit canggung
Julia tersenyum kecut. Dia menatap Dom yang kembali ke meja kerjanya. Lelaki itu benar-benar menjaga jarak dengannya. Mereka hanya menjaga sikap saat di depan anak-anak.
"Baiklah. Sebelumnya terima kasih, Dom. Aku kembali," pamit Julia dengan senyum kecil. Langkah kakinya langsung keluar dari sana. Julia tidak berbalik lagi. Dia bahkan tidak tahu jika Dom menatapnya dengan sorot yang berbeda.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalasan Antagonis (REPOST)
FantasyVicy Ellanor sudah terlalu banyak terluka sampai jiwa lemahnya tenggelam dan lahir jiwa yang baru. Tidak ada lagi air mata dan sosok lemah, Ellanor seakan menjadi sosok baru yang tidak bisa disentuh oleh siapapun. Tujuan hidupnya hanyalah memberi pe...