Beomgyu

748 182 30
                                    

⚠️toxic parents, death mention

.
.
.

Beomgyu pulang ke rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rumahnya sudah gelap total pasti kedua orangtuanya sudah tidur. Ia mengendap ke dalam rumah, tapi baru saja kakinya menginjak anak tangga pertama lampu tiba-tiba menyala.

Beomgyu kaget, badannya kaku sejenak. Gawat, gawat, itu pasti Ayah.

"Berani pulang malam lagi, ya? Choi Beomgyu?"

Beomgyu membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Dia berdiri menghadap sang Ayah yang menenteng penggaris besi di tangan.

"Tidak usah pulang saja sekalian. Itu 'kan yang kamu mau? Bebas, tak ada aturan."

"Jawab Beomgyu! Itu 'kan yang kamu mau?"

Beomgyu menunduk, jemarinya saling bertaut seakan menguatkan, "Maaf, Ayah."

"Kemari. Berdiri di depan Ayah!"

Dengan gugup Beomgyu berjalan menghampiri Ayahnya, berdiri di depan sang kepala keluarga sambil menunduk dalam.

Beomgyu takut, Beomgyu takut pada Ayahnya. Dulu ketika kakaknya masih hidup Ayahnya adalah sosok yang humoris dan sayang keluarga. Ayahnya sangat menyayangi dirinya dan kakaknya.

Tapi sayang, sang Ayah terlalu membanggakan anak pertamanya. Terlalu banyak menanamkan harapan pada sang Kakak dan sayangnya tidak berbuah manis. Karena Kakaknya harus pergi bahkan sebelum bibit harapan itu tumbuh.

Itu semua karena dia, karena Beomgyu. Beomgyu pun sama kehilangannya, dia juga sangat menyayangi sosok Kakak lelaki yang seperti pahlawan super baginya. Selalu menjaganya padahal pahlawan itu sedang sibuk belajar.

Tak terhitung berapa kali Beomgyu menyalahkan dirinya. Meminta kepada Tuhan agar ia saja yang diambil, jangan Kakaknya. Beomgyu juga tidak sanggup melihat dirinya sendiri. Tak kuat membendung rasa bersalah yang terus-menerus bertumbuh.

Plak

Satu pukulan keras mengenai betisnya yang tertutupi celana seragam. Beomgyu menggigit bibirnya, menahan rasa sakit sekaligus air mata.

Plak

"Dasar anak tak tahu diuntung! Kamu ini masih tinggal disini. Jadi ikuti aturan rumah!"

Plak

Kaki Beomgyu sedikit gemetar karena dipukul di tempat yang sama. Betis sebelah kanan.

"Dasar perusak! Kalau tidak bisa mendapat nilai yang bagus setidaknya jangan membangkang!"

"Maaf, Ayah."

Setelah mengatakan itu, bukannya mereda Ayahnya malah semakin gencar memukul Beomgyu dengan penggaris besi ditangan. Beomgyu sempat tersungkur, tapi Ayahnya masih saja memukuli badannya.

Beomgyu meraung kesakitan memohon agar sang Ayah berhenti, "Ayah, sudah, berhenti. Beomgyu minta maaf, Ayah! Sakit! Ampun!"

Dengan sisa kesadarannya Beomgyu melihat sang Ibu yang keluar dari kamar, "Berisik sekali."

Hati Beomgyu mencelos, lagi-lagi menyadari bahwa kedua orangtuanya bukanlah orang yang sama seperti dulu. Bukan lagi rumahnya.

"Ibu, tolong ... Sakit ..."

Bukannya membantu, Ibu malah meminum air sambil menontonnya dipukuli oleh sang Ayah.

"Tas ini harusnya berisi buku pelajaran, bukannya pylox tak berguna seperti ini!"

Tanpa permisi, Ayah mengambil tas Beomgyu, membukanya kasar lalu membanting pylox-pylox yang Beomgyu beli dari hasil tabungannya.

"Akan ku bakar semua ini."

Tidak... Tidak jangan pylox.

Beomgyu geram, tangannya mengepal. Ia cengkram pergelangan tangan Ayahnya yang memungut pylox miliknya. Beomgyu bangkit dan berdiri menghadap Ayahnya seolah menantang.

Amarah menguasai Beomgyu. Amarah yang sudah ia tahan sejak dulu karena dia masih menghormati orangtuanya. Tapi apa yang dia dapat? Perlakuan buruk. Pukulan, caci maki, kutukan, tatapan tajam, semua! Beomgyu benci semua. Beomgyu benci orangtuanya.

Beomgyu menyeringai saat melihat Ayah dan Ibunya terkesiap. Mungkin kaget karena selama ini dirinya tak pernah melawan.

"Berani-beraninya kamu--"

"Kenapa aku harus takut?!" teriak Beomgyu tak kalah lantang. "Kenapa aku harus takut pada Ayah yang tega memukuli anaknya?!"

"Ayah selalu bilang kalau aku ini perusak! Terus kenapa Ayah kaget? Aku memang perusak, sesuai dengan apa yang Ayah dan Ibu bilang. Iya, 'kan?"

Beomgyu menarik napasnya, "Ayah pikir aku tidak pernah merasa bersalah? Sejak kakak meninggal, aku tidak pernah bisa tidur dengan tenang! Aku juga menyalahkan diriku!"

"Tiap malam aku bertanya pada Tuhan, kenapa tidak aku saja yang diambil? Kenapa bukan aku saja yang mati?!"

Air mata Beomgyu mengalir deras. Ia muak. Muak dengan semua lontaran kebencian dan perlakuan kasar yang sering ia dapatkan dari kedua orangtuanya.

"Apa Ayah tidak ada rasa sayang lagi untukku? Apa Ibu juga? Ibu juga sudah tak sayang lagi pada Beomgyu?"

Ia melirik ke arah Ibunya yang masih terkejut.

"Kalau begitu," Beomgyu berlari ke arah dapur mengambil pisau. Ia letakkan pisau itu di tangan sang Ayah. Lalu menuntun pisau itu tepat di lehernya.

"Ayo bunuh Beomgyu, Ayah. Itu 'kan yang selama ini Ayah inginkan? Ayah selalu pukul Beomgyu pakai rotan, penggaris, dan tongkat kayu. Sekarang Ayah sudah memegang pisau di leher Beomgyu. Ayo, Yah! Bunuh Beomgyu!"

Beomgyu bisa merasakan tangan Ayah gemetar di cengkramannya. Hal itu membuat ujung pisau tajam menggores lehernya hingga mengeluarkan darah.

Beomgyu memejamkan matanya sambil meringis. "Lebih dalam, Ayah! Ayo! Ayah memang mau aku mati, 'kan?"

Tiba-tiba saja pisau itu terlepas dari tangannya dan terjatuh ke atas lantai. Beomgyu menoleh ke samping. Ibunya sudah menangis meminta untuk berhenti.

Jujur di dalam hati kecilnya Beomgyu tak mau seperti ini. Dia tak tega melihat Ibunya menangis. Tapi mengingat reaksi Ibu yang seakan tak peduli ketika ia dipukuli Ayah membuat Beomgyu kesal.

"Sudah, Beomgyu. Sudah, cukup!"

"Kenapa Ibu? Kenapa aku harus berhenti? Itu, kan, yang Ibu dan Ayah mau? Kalian ingin Beomgyu menghilang! Iya, 'kan?"

Air mata Beomgyu kembali jatuh saat sang Ibu memeluknya. Pelukan ini ... Beomgyu sangat merindukan pelukan ini.

"Beomgyu lelah, Ibu ..."

"Beomgyu ingin ikut Kakak ..."

Ibu menangis seraya mengeratkan pelukannya pada Beomgyu yang menangis lirih dalam pelukannya. Sedangkan Ayah masih mematung melihat tangannya yang bergetar karena telah menodongkan pisau ke buah hatinya sendiri. Ayah hanya tak menyangka hal ini akan terjadi.

Beomgyu menghapus air matanya menggunakan lengannya lalu melepas pelukan Ibu.

"Beomgyu lelah. Ingin istirahat," dia mengambil kaleng-kaleng pylox dan memasukkannya ke dalam tas. Ia berjalan ke kamarnya tanpa mempedulikan reaksi kedua orangtuanya. Beomgyu lelah.

Di dalam kamar, Beomgyu membanting barang-barangnya dengan frustasi. Dia mencoba menyalurkan amarahnya dengan itu.

Dia melirik ke samping nakas. Disana terdapat fotonya dan sang kakak yang sedang bermain di taman ketika Beomgyu berusia 10 tahun.

"Haruskah?" Beomgyu mengusap bingkai foto itu lembut.

"Haruskah aku menyusulmu, Kak?"

TUNA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang