Akhir

968 180 17
                                    

; Sudut Pandang Taehyun ;

Aku menutup payungku ketika kakiku sudah berpijak pada besi mobil panjang yang berkarat ini. Ku lihat kursi di dalam bus ini sudah penuh, mau tak mau aku berdiri.

Sudah dua tahun sejak peristiwa itu. Peristiwa yang tidak akan aku lupakan sekeras apapun kepalaku berusaha. Hari ini bertepatan dengan hari wisuda SMA ku. Harusnya aku berfoto bersama Beomgyu, harusnya sepulang sekolah kami merayakan kelulusan dengan makan bakso di pinggir jalan. Harusnya.

Aku mengeratkan tanganku pada pengangan bus. Hari ini aku akan menemui Beomgyu di Pusat Rehabilitasi Remaja. Sejak malam itu Ibu bilang, Beomgyu dibawa oleh polisi karena telah membunuh Kak Sam, namun Beomgyu tak masuk penjara melainkan masuk pusat rehabilitasi karena masih di bawah umur.

Akhirnya Ibu mengizinkanku menemuinya karena aku yang memaksa. Hitung-hitung hadiah kelulusan, kataku saat membujuk Ibu. Aku sudah kepalang rindu dengan Beomgyu. Sekolah terasa sepi tanpanya.

Aku turun dari bus dan memasuki area rumah rehabilitasi remaja ini. Omong-omong aku juga pernah tinggal di tempat rehabilitasi jiwa, tapi aku tidak akan menceritakannya, itu pengalaman yang cukup buruk buatku.

Awal aku bertemu dengan Beomgyu, dia banyak berubah. Tubuhnya sedikit bertambah tinggi, suaranya semakin dalam, ototnya semakin besar, dan dia juga memanjangkan rambutnya. Aku tebak di tempat ini dia rajin berolahraga.

Dia kaget saat bertemu denganku. Aku tidak tahu mengapa reaksinya seperti itu. Apa selama ini dia memang tidak mengharapkan aku datang, ya? Dan benar saja, baru saja aku ingin menyapa, dia langsung menyuruhku untuk pulang. Aku bingung, padahal aku sudah membawakan siomay kesukaannya.

Beomgyu memang baik, dia sangat menyukai siomay tapi selalu makan bakso bersamaku karena aku lebih suka bakso. Ok, cukup melanturnya.

Dia mendorong tubuhku, berniat mengusirku. Aku jadi terdorong.

"Beomgyu, di luar hujan!" tanpa sadar aku sedikit mengamuk karena kesal didorong seperti itu. "Oke, aku akan pulang setelah hujan reda."

Dia menatapku tanpa ekspresi, dan kembali ke kamarnya begitu saja, meninggalkan aku yang memutuskan untuk berjongkok di koridor karena disini tidak ada kursi tunggu.

Udara semakin dingin, padahal aku memakai seragam sekaligus almamater sekolah, tapi dinginnya masih bisa kurasakan. Aku menenggelamkan wajahku pada lipatan tangan. Merasa sedikit mengantuk dan mungkin saja tertidur jika saja aku tidak merasakan satu tangan menyentuh lenganku.

Aku mendongak kemudian tersenyum, itu Beomgyu. Sudah ku bilang, 'kan? Beomgyu itu orang baik. Dia tidak akan tega meninggalkanku sendirian di luar. Dia mengajakku untuk masuk ke kamarnya, untuk berbincang di dalam katanya.

Beomgyu bercerita banyak hal sembari memakan siomay yang aku bawa. Dimulai saat malam dimana dia menggendongku sampai rumah sakit sampai sekarang dirinya yang lebih baik setelah hidup di pusat rehabilitasi. Katanya dia banyak menangis tapi banyak tersenyum juga. Aku khawatir dia gila sepertiku.

Tapi kalau dipikir kembali, aku tidak perlu khawatir, karena sama sepertiku, Beomgyu juga baik-baik saja.

Dia juga bercerita perihal kekhawatirannya tentang masa depan. Aku tidak bisa menjawab banyak karena setelah dia bicara seperti itu, aku juga jadi kepikiran. Sekarang aku sudah lulus sekolah, lalu aku harus apa? Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi? Atau bekerja? Apakah bisa orang sepertiku melakukan itu? Di sekolah saja nilaiku sangat pas-pasan.

Sesi menjengukku sudah habis. Aku pun pamit dan bilang padanya, bahwa kedepannya aku akan sering mampir. Aku minta padanya agar nanti jangan kaget lagi sampai mengusirku seperti tadi, tapi dia hanya tertawa padahal aku tidak berniat melucu.

Beomgyu mengantarku sampai depan pintu eskalator. Omong-omong kamarnya berada di lantai tiga. Baru saja aku ingin menutup pintu eskalator tiba-tiba aku ingin mengatakan sesuatu padanya.

Aku berteriak memanggil namanya, dia langsung berbalik sambil menaruh jari telunjuknya di depan bibir. Aku tidak sadar kalau terlalu berisik, ya aku memang sering begitu.

"Beomgyu aku ingin mengatakan sesuatu padamu," Aku memegang kedua bahunya, memindai wajahnya yang tampak lebih dewasa setelah dua tahun tak bertemu.

"Yang terjadi nanti akan terjadi nanti, dan kita tidak perlu memikirkan itu terlalu dalam."

"Kamu tidak perlu takut dengan masa depan. Mulai besok, kita jalani bersama seperti dulu, bagaimana?"

Setelah mengatakan itu Beomgyu langsung memelukku. Seperti biasa, Beomgyu akan memelukku setiap aku bicara padanya. Beomgyu itu cengeng, sama sih sepertiku, tapi dia lebih cengeng. Aku balas memeluknya sambil mengusap punggungnya yang semakin lebar.

Waktu memang obat sesungguhnya. Seiring berjalannya waktu, aku mulai menerima kekuranganku, belajar mengatasinya, dan mencari jalan keluar sendiri. Bagaimanapun kepalaku adalah bagian dari diriku, tidak sepatutnya aku membencinya seperti dulu.

Sesuatu yang rusak belum tentu tidak bisa kembali indah. Luka akan meninggalkan bekas dari setiap rasa sakit yang pernah dialami, tapi pada akhirnya luka itu akan sembuh, 'kan?

.
.
.

Selesai

TUNA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang