BAB 3

8.6K 930 84
                                    

Mata Michele berkaca-kaca saat melihat Dokter tengah mempersiapkan segala peralatannya, Michele bergidik ngeri melihat sebuah gunting yang berada di genggaman Dokter bername tag Zellin. Saat ini Michele berada di salah satu rumah sakit utama di kota tempat tinggal Michele.

"Saya keluar dulu," pamit Marchelio sambil melepaskan cekalan tangan Michele dari kausnya.

Acel menatap kepergian sang Papi sedih, ia memilih menunduk menyembunyikan wajahnya yang ingin menangis. Lidahnya terasa kelu untuk meminta Marchelio tetap stay di dalam ruangan ini.

"Are you okay?" Tanya Dokter Zellin.

Michele mendongak, netranya bertabrakan dengan netra milik sang Dokter. Zellin tersenyum menatap wajah Michele yang sembab, hidungnya merah beserta kedua matanya.

Zellin mencubit gemas pipi Michele, ia tahu jika luka yang didapat bukan luka jatuh melainkan cambukan.

"Don't cry! Tahan sebentar ya? Kalau nggak bisa di tahan, kamu nangis aja." Ucap Zellin membuat Michele segera menggelengkan kepalanya.

"Kata Papi kalau nangis itu anak manja! Acel bukan anak manja Dokter, kalau Acel ketahuan nangis nanti Papi marah terus bilang kalau Acel bukan anaknya—" sontak Michele menutup mulutnya merasa bodoh dengan perkataannya, ia memukul mulutnya pelan.

"Ih, mulut jangan nakal dong!" Ucap Michele di dalam hati.

Zellin tersenyum sedih, "Kamu sudah sekolah, anak cantik?" Tanya Zellin mengganti topik agar pasien anak kecilnya bisa melupakan ucapannya tadi.

"Udah, Dokter!" Jawab Michele cepat.

"Duduk di bangku taman kanak-kanak, kah?" Tanyanya lagi.

Lagi-lagi Michele mengangguk, "Dokter pintar!"

"Kamu seperti anak Dokter," ucap Zellin, selagi mendengarkan Michele bercerita, Zellin terus mengobati luka-luka gadis kecil itu hingga tidak terasa semuanya sudah selesai.

Michele bercerita menggebu-gebu mulai dari bercerita tentang sekolahnya, sahabatnya sampai dirinya yang menyukai menulis disebuah buku kecil.

"Sudah selesai," ucap Zellin sembari membuka sarung kedua tangannya.

Gadis kecil itu menunduk menatap kedua kakinya yang sudah diperban, "Udah selesai ya, Dokter?" Tanya Michele sedih.

"Sudah, cantik. Anak pintar, hm? Diobati sama Dokter tidak menangis," ucap Zellin mampu membuat Michele tersipu malu.

"Dokter panggilkan ayah kamu dulu, ya?" Ucap Zellin.

"Bukan ayah Dokter! Tapi Papi," balas Michele.

Zellin terkekeh, "Iya sayang, sebentar ya?"

Michele menarik tangan Zellin, kepalanya menggeleng. "Acel bisa sendiri, Dokter! Tolong bantu Acel turun."

Dengan segera Zellin membantu Michele turun, ia menepuk puncak kepala Michele. "Lukanya tidak boleh terkena air dulu ya? Semoga cepat sembuh,"

"Siap, Dokter!"

Di luar ruangan Marchelio duduk dengan Adam yang berdiri disebelahnya, kepala Marchelio mengangguk mendengar ucapan Adam tentang pola asuh Ella pada putrinya.

"Selama ini Nona selalu mendapat kekerasan, Tuan. Ella tidak benar-benar menjaga dan mengasuh Nona. Ella dijatuhkan hukuman mati, sebelum kami melaporkan ke polisi, wanita itu sudah kami siksa."

"Kerja yang bagus," ucap Marchelio.

Michele berjalan keluar dengan tertatih, Zellin menatap itu segera menghembuskan nafasnya kasar. Mengapa didunia ini masih ada saja orang tua yang menyiksa anak-anaknya? Kenapa mereka menikah jika memang tidak ingin punya anak? Apakah harus dengan kekerasan?

PAPI UNTUK ACEL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang