"Kamu mau kemana, nak?" Tanya Ibu ketika mendapatiku sudah rapi hendak membuka pintu untuk melaksanakan kegiatan.
"Sekarang tanggal berapa, Bu?"
Ini bukanlah jawaban yang diminta. Saya tahu meski diri ini sedikit bicara tapi Ibu paham isi kalimat. Beginilah Nandi hidup. Meski diberi mulut tetap saja enggan membuka suara. Bukan tidak bersyukur atau mulut tiba-tiba lumpuh, namun setiap manusia punya cara sendiri untuk hidup normal versi mereka.
"Tanggal tiga belas agustus?"
Setelah mengucap tiga belas membuat Ibu langsung bisa membaca pikiran. Hanya lewat mata, kami bisa melempar aksara meski tidak bernada. Lantas hal ini menarik kurva di bibirku begitupun Ibu. Kalau orang lain melihat bisa-bisa kami dikira aneh.
"Na Jaemin berulang tahun?" Tanya Ibu lagi, saya yakin sebenarnya dia tahu bahwa sekarang adalah hari Na Jaemin. Apa yang tidak diketahui Ibu tentang saya? Semuanya dia kenal meski tidak pernah memberitahu. Ajaib, seakan cenayang saja manusia satu ini. Walau begitu saya sangat sangat mencintai dia melebihi apapun, sungguh.
"Ibu gak usah sok-sok amnesia. Kalau gitu Nandi pamit mau jalan-jalan sambil menenangkan pikiran," ujarku seraya menyalam tangan pemilik surga. Kemudian dengan gembira hati membuka hari. Mengambil sepasang sepatu dan mulai menapaki dunia luar yang katanya penuh kejutan.
Ini bisa dikatakan rutinitas setiap kali tuan mengulang hari lahir ke dunia. Melakukan kegiatan baik untuk ketenangan. Saya juga butuh rehat atas segala beban. Na Jemin bertambah umur dan saya ikut merayakan. Terlihat sepele mungkin.
Kalau kata Ibu, kita punya hak untuk bahagia meski kata orang itu bukan definisi yang wajar. Hidup selalu berjalan maka jangan sampai menyesal. Lakukan setiap keinginan tanpa diliputi ketakutan.
Ibu tidak pernah mengatakan kalimat negatif walau berpikir hal ini masih tidak masuk akal baginya. Yang Ibu pahami adalah ketika saya senang maka dia pun begitu. Jika Ibu ingin meminta sesuatu tapi saya menolak maka dia tidak lagi mengulang.
Ibu mahir dalam memanusiakan manusia. Anak pastinya punya jalan untuk bahagia. Maka hari ini terjadilah, berjalan santai tanpa tujuan. Hanya ingin melihat keramaian. Saya dikenal jarang membuka diri untuk dunia luar karena kamar lebih menyenangkan. Sendiri tidak seburuk kata orang banyak.
Hari ini saya punya tiga tujuan. Pertama, mampir ke toko bunga yang beberapa hari dikunjungi. Niatnya ingin menyapa bapak baik hati. Kemudian mendatangi gramedia. Mungkin nanti membawa teman baru untuk koleksi buku. Terakhir, memberi laporan untuk komandan rumah yang tidak lagi bernafas.
Baiklah, kita menuju toko bunga dekat kampus . Toko itu ada di seberang, maka saya lebih dulu melintas di tengah-tengah ramainya roda berputar. Di sinilah dituntut keras kepala sebab menunggu manusia ingin mengalah tidak mudah. Saya merentangkan tangan pertanda meminta izin untuk para pengendara memberi kesempatan berjalan ke seberang.
Baiknya kabar, saya bisa melintas dengan lancar. Sekarang sudah berdiri tepat di depan jejeran bunga harum semerbak. Bukan menjumpai bapak pemilik toko malah dengan anaknya.
"Eh, ketemu lagi kita. Mau beli bunga atau hanya menumpang berteduh?"
Taruna bicara dengan santai memang tapi mengapa saya mengira ini sebuah sindiran. Entahlah, mungkin hanya salah mengartikan. Saya menjelaskan niat kedatangan untuk mampir dan sekedar menyapa bapak si taruna. Setelah itu, dia meninggalkan saya sendiri. Di sini ramai pengunjung berbondong-bondong membeli setangkai bunga atau bahkan lebih.
Tak lama kemudian bapak menampakkan diri tak lupa memberi senyum manis seperti biasa. Manusia baik tutur kata dan perilaku, layak dilestarikan. Jarang kita menemui manusia seperti ini, mereka sudah lupa cara menabur kasih pada sesama.
"Neng Nandi," sahut bapak ramah tamah. Saya memberi senyum seraya menundukkan kepala memberi tanda hormat pada orang tua.
"Mau beli bunga?" Tanya bapak sibuk menata bunga dimana letaknya sudah berubah.
Mengganggukan kepala dan bapak berjalan menuju perkumpulan bunga anyelir berada. Kemudian memberi satu ikat sudah dibungkus cantik tentunya.
"Untuk Ayah?"
"Iya, pak. Terima kasih, ini uangnya. Saya balik dulu."
Pamitku menapaki tungkai menjauhi toko. Namun, belum beberapa langkah saya melupakan sesuatu yang seharusnya diberi untuk bapak penjual bunga itu.
"Ada yang ketinggalan, neng?"
Saya mengeluarkan kotak makanan yang dipersiapkan dari rumah tadi. Memberi nasi serta lalapan hasil dari racikan tangan.
"Buat bapak, seperti biasa jangan ditolak ya. Kalau begitu saya balik."
Dan kali ini saya benar menjauh untuk menuju destinasi kedua.
"Memang Ayah dia kenapa, pak? Dikasih bunga kayak ulang tahun aja."
"Buat bertamu."
"Orang tuanya berpisah? Kenapa mau bertamu? Memang Ayah dia beda rumah gitu?"
"Iya beda banget malah. Ibu dia ada di rumah yang satu sedangkan Ayahnya ada di rumah sana."
Tunjuk bapak ke langit menimbulkan tanda tanya bagi taruna. Belum paham maksud terselubung dari beda rumah yang dikatakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaset Horizon ; Na Jaemin
Romance[REVISI] 나재민 "tumbuh, adu, berlabuh dan ambigu"