Selesai melihat-lihat buku di gramedia, sekarang saatnya bertemu dengan Ayah. Langit ikut merasakan yang dulu menjadi penyebab gundah. Namun, hujan tidak mau turun. Membiarkan para manusia menyelesaikan aktivitas karena hari segera berganti malam.
"Hai Ayah, Nandi datang bawa hadiah." Kata puan memberi sambutan hangat meski tidak berguna. Yang diajak bicara terkubur bersama tanah.
Hari ini Ayah Nandi juga merayakan hari lahir sekaligus hari kematian. Tepat dua tahun lalu, beliau mengalami kecelakaan membuat nyawa dari sosok penting dihidup puan melayang.
Betapa hebat kesedihan merundung hidupnya juga Ibu. Waktu itu mereka punya rencana merayakan hari ulang tahun Ayah yang ke empat puluh lima tahun tapi ternyata Tuhan juga ingin melaksanakan hari dimana menjemput hamba-Nya kembali ke pangkuan. Kita tidak pernah tahu rencana sang kuasa. Kadangkala pasrah ialah tindakan tepat. Percuma protes, siapa insan bisa melawan takdir?
Puan meletakkan bunga anyelir, mencium nisan Ayah tercinta dengan tangis jatuh membasahi pipi. Dari rumah Nandi sepakat tidak akan ada air mata hari ini tapi anak tetaplah seorang anak. Tidak bisa berpura-pura baik depan orang tua.
"Ayah..."
Diam, mulut itu mengatup kesedihan. Kalimat selanjutnya gagal dikatakan. Hanya air mata yang menjelaskan. Hasta puan begitu erat memeluk nisan. Meski raga tidak lagi ada namun kubur jadi kenangan. Sebagai tanda bahwa Satria Panswa-Ayah Nandi pernah menjadi manusia hebat dimata ananda cantik.
Di sini, puan bebas melepas seluruh emosi. Baginya, kehilangan Ayah sama seperti kematian setengah jiwa. Bagaimana mungkin anak yang dekat dengan Satria tiba-tiba harus siap dengan suratan takdir.
Sosok yang setiap pagi mengucap "Selamat pagi anak Ayah yang cantik," sekarang tidak lagi mau bersuara. Sosok yang dulunya selalu meluangkan waktu untuk mengantar dan menjemput tapi sekarang kaki Nandi sendiri berjalan tanpa pengawal.
"Maaf kalau Nandi belum bisa melepas kepergian Ayah. Aku tahu ini udah lama sejak Ayah pergi ta-tapi... Nandi masih belum berhasil, yah."
"Maaf..."
Kemudian, puan menangis begitu hebat. Melupakan perjanjian agar tidak memperlihatkan pilu. Mata hanya menatap kosong nisan sambil mengingat memori indah yang dulu tercipta.
Kalau waktu boleh diulang, Nandi pasti tidak akan memaksa Ibu kala itu untuk merayakan ulang tahun Ayah. Aku akan menunggu kepulangan yang benar pulang ke rumah bukan pulang ke rumah Tuhan.
Kalau saja dua tahun lalu Nandi mengikuti saran Ibu untuk makan di rumah bukan cafe. Kalau saja waktu itu Ayah menolak ajakanku pasti sekarang tanah ini belum ada.
"Ayah... Nandi kangen. Balik lagi ya sama kita?! Minta sama Tuhan untuk memperpanjang umur Ayah. Bisa?"
Puan kembali berpikir layaknya anak kecil. Meminta hal yang tak bisa dilaksanakan. Berkata yang mudah dilontarkan tapi sulit dinyatakan. Memikirkan ide ajaib kelewat masuk akal. Logika liar menciptakan skenario unik.
Masih banyak daftar keinginan belum diwujudkan tapi Ayah lebih dulu menutup cerita. Kita bukan lagi tiga manusia. Bahagia tidak lagi lengkap. Ajarkan saya cara melanjutkan hidup kalau kematian sudah datang menjemput satu persatu manusia.
Kata Ibu semua punya cerita baik di akhir. Namun kenapa sekarang seakan terasa selesai yang tidak baik. Apa ini hanya kiasan untuk jalan Tuhan yang ditetapkan. Sebab kata orang, Tuhan pasti beri seluruh kebaikan untuk hamba-Nya. Mana? Kebaikan mana yang disebut? Apa kematian juga termaksud kebaikan?
Saya masih terlalu dini menerima musibah beratini, tidak bisakah kejadian ditunda? Wahai Tuhan yang kuasa, setidaknya janganambil orang tersayang sekarang. Nanti saat saya cukup dewasa menerima pahit kehidupan. Boleh?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaset Horizon ; Na Jaemin
Romance[REVISI] 나재민 "tumbuh, adu, berlabuh dan ambigu"