Part 6

1.1K 155 15
                                    

Manik bulat itu menatap pemandangan didepannya dengan sendu, melihat bagaimana Daichi tertawa dan tersenyum saat mengobrol dengan lelaki tampan tadi. Sarada merasa dadanya sesak, napasnya memburu dan matanya mulai mengeluarkan cairan bening.

"Papa ...."

"Salad? Oh kau di sini." Suara Daichi yang menyebut namanya tak membuat gadis kecil itu mengalihkan pandangannya dari Sasuke.

"Sarada kenapa kau menangis?" tanya bocah tampan itu. Dia mengeryit heran saat melihat Sarada yang tak henti-hentinya menatap Sasuke, membuat Daichi menoleh dan tersenyum, "Oh iya. Ini Papa yang sering aku ceritakan."

Sasuke mengalihkan pandangannya saat mendengar ucapan Daichi, lelaki tampan itu menghela napas dan menatap dengan datar. "Cukup! Ayo pulang Daichi."

"Papa!"

Bungsu Uchiha itu menatap Sarada dengan penuh tanya, cukup lama, mata serupa itu bertemu. Sasuke tak kunjung melepaskan pandangannya dari Sarada, dan membuka mulutnya. "Kau siapa? Aku bukan papamu."

"Papa adalah papa Calad, Mama bilang begitu. Papa milip dengan poto yang Mama pelihatkan! Calad beltemu Papa!"

"Sarada apa yang kau katakan? Ini Papaku, bukan Papamu. Kenapa kau memanggil Papa orang lain dengan sebutan Papa."

Sarada menangis, dia menggelengkan kepala kemudian berlari mendekati Sasuke dan memeluk kaki pria itu. Kepalanya mendongak dengan wajah yang penuh air mata, bibirnya bergetar hebat begitupula dengan tangannya yang memegang erat kaki Sasuke.

"Tidak. Ini Papa Calad, Mama bilang begitu!"

"Bukan, dia Papa ku Sarada!" teriak Daichi lantang yang mengundang Tenten datang mendekat, gadis China itu membulatkan mata saat melihat sosok Sarada yang sudah menangis.

Dia menarik tubuh gadis kecil tersebut dan memeluknya, menatap pada Sasuke yang hanya diam tak bergeming. Lelaki itu memandang Sarada dengan pandangan datar, sungguh pandangan yang sulit di tebak.

Mengalihkan mata pada Sarada, Tenten mengelus punggung itu dengan pelan dan menahan tubuh kecil Sarada yang memberontak ingin memeluk Sasuke kembali.

"Papa! Papa!"

"Salad itu Papanya Daichi, Salad tidak boleh melakukan ini sayang."

"Bukan! Papa Calad, itu Papa Calad!"

Sasuke mengalihkan pandang, lekas menarik tangan Daichi kemudian berbalik badan. "Ayo pulang."

Meninggalkan Sarada yang meronta ingin mengejar mereka, Tenten kewalahan. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi, akhirnya Tenten menggendong paksa tubuh Sarada dan membawanya masuk ke dalam ruangan. Gadis kecil itu masih menangis, meraung-raung, dan memanggil Papa berulangkali.

*****

Tenten mulai menenangkan Sarada dan bertanya dengan pelan-pelan, tapi Sarada hanya diam tak ingin sedikit pun berbicara mengenai kondisi dan alasannya menangis, Tenten menjadi khawatir. Dirinya sangat ingin menelpon Sakura tapi dia tahu kalau Mama dari gadis kecil ini pasti sibuk akan pekerjaannya, Tenten jadi bingung dan bimbang untuk mengambil keputusan.

Jadi, mau tak mau Tenten hanya bisa menemani dan menepuk punggung Sarada pelan, berharap kesedihan yang dirasakan segera hilang. Tenten benar-benar bingung dan tidak bisa menebak pikiran Sarada.

Sarada memeluk Tenten dengan erat, dia merasa sesak seolah ada sesuatu yang menimpanya hingga tidak bisa bernapas dengan baik. Terlebih melihat wajah Sasuke tadi saat mengatakan kalau dia bukanlah Papanya membuat Sarada sedih.

Tangisan itu berhenti saat dia merasa lelah dan jatuh tertidur dengan wajah yang begitu sembab. Tenten menggelengkan kepala iba, dia membawa Sarada ke dalam ruang istirahat anak-anak kemudian membaringkan tubuh itu dengan pelan.

Saat hari hampir gelap, Sakura datang untuk menjemput anaknya. Dengan senyuman hangat dia memasuki tempat penitipan, dia mengeryit saat Tenten menyerahkan Sarada yang tertidur pulas padanya.

Wanita musim semi itu berkesimpulan kalau Sarada mungkin lelah bermain seharian. Sakura berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Tenten, tapi gadis tersebut tampak cemas dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu pada Sakura.

Sakura berdehem dan mulai bertanya. "Terjadi sesuatu Tenten? Aku lihat wajahmu begitu khawatir akan suatu hal."

"Begini ... Ada sedikit masalah, Sarada menangis tiba-tiba dan aku mendapati Sarada menangis karena melihat Papa-nya Daichi."

"Papanya Daichi? Itu bocah pindahan yang sering Sarada ceritakan padaku."

"Iya Sakura. Dia mengatakan kalau Papanya Daichi adalah Papanya. Salad menangis hingga akhirnya tertidur. Berapa kali pun aku membujuknya untuk berbicara, dia tidak ingin bersuara, aku jadi khawatir. Jadi, aku mohon agar kau bisa membuat Sarada mengatakan yang dia rasa, aku takut gadis kecilmu ini mendapatkan tekanan karena itu."

Sakura memandang wajah pulas sang anak, dia mengangguk dan kemudian berpamitan pada Tenten. Berjalan menyusuri dalam hening. Hingga tidak terasa Sakura sudah menginjakkan kaki di flat mereka.

Wanita itu membawa Sarada untuk tidur di kasur lantai, sedang dia sendiri memilih untuk membersihkan badan. Setelahnya Sakura memasuki dapur, mulai mengolah bahan makanan menjadi makan malam.

Usai memasak Sakura kembali memasuki kamar, mendekati Sarada dan menepuk pipi gembul itu perlahan. "Salad, ayo bangun sayang. Kita akan makan malam."

"Emm ... Calad antuk Mama."

"Bangunlah, makan sedikit saja. Agar perutmu tidak lapar saat tengah malam."

Dengan rasa terpaksa gadis kecil itu membuka matanya, dia mengikuti sang Mama menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ibu dan anak tersebut berjalan menuju ruang tengah yang sudah tersusun hidangan makanan di atas meja.

Dengan telaten Sakura menyuapi Sarada, dia memperhatikan bagaimana gadis kecilnya itu tampak enggan untuk makan. Bahkan Sarada tak banyak bertanya seperti biasanya.

"Bagaimana hari ini sayang? Apa Salad senang?"

Sarada hanya mengangguk, dia menggelengkan kepala saat Sakura kembali menyodorkan sendok. Sepertinya gadis kecilnya itu sudah kenyang, Sakura memaklumi dan memakan sisa makanan Sarada.

"Terjadi sesuatu? Apa Salad tidak ingin bercerita pada Mama?"

Sarada mendongak, dia menatap manik emerald sang Mama dengan berkaca-kaca. Lekas gadis itu berdiri dan memeluk Sakura. "Mama ...," rengeknya.

"Iya sayang?"

"Mama adalah Mama Calad, Mama punya Calad bukan punya olang lain. Calad cayang Mama, cangat cayang."

Wanita musim semi itu mengernyit heran. Bertanya-tanya di dalam hati kenapa Sarada mengatakan itu padanya, Sakura menepuk punggung bergetar Sarada dengan pelan.

"Kenapa hm?"

"Tidak apa-apa. Calad hanya ingin mengatakan kalau Calad cayang Mama."

Sakura mengangguk dan menghela napasnya, hatinya terasa remuk mendengar suara tangisan sang anak. Mati-matian ia menahan air mata yang memberontak untuk keluar, dia mendongak dan menatap langit-langit flat mereka.

Sebenarnya ... Apa yang terjadi?
batin Sakura.








*****

bersambung.

He's AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang