“Lo yakin, ngajak Zafran tanding futsal?” tanya Alex yang duduk di sebelah Candra. Dengan sorot pandang yang sangat serius.
“Lo pikir, gue gak yakin?” balas Candra sengit, karena Alex terkesan meremehkannya.
“Maksud gue bukan gitu. Lo gak tahu dia jago banget sama futsal. Sedangkan lo, dari dulu gak pernah minat sama futsal. Lo ‘kan gak terlalu minat sama olahraga,” cetus Alex.
Memang, jika diperhatikan sejak kecil, Candra memang sudah dididik untuk menjadi orang yang pandai berbisnis. Namun, bukan berarti dia tidak bisa berolahraga, hanya saja dia berolahraga jika ada jadwal dengan anak-anak dari rekan kerja ayahnya. Anggap saja golongan yang tinggi.
“Duit mulu pikiran lo,” timpal Yuda.
“Emang bisa lo, hidup tanpa duit? Hah? Duit tinggal metik gitu aja kayak daun?” celutuk Candra.
Memang sih, tidak ada salahnya apa yang dikatakan Candra. Manusia memang bisa, hidup tanpa uang? Bahkan tanpa berusaha, berpikir, uang bisa datang begitu saja? Stop! Jangan berhalu yang tidak mungkin.
Yuda meringis, lalu menepuk-nepuk pundak Candra. “Canda kali bro, serius amat.”
“Mau tanding di mana?” tanya Ciko.
“Sekolah lo aja, gimana? Boleh kan?” jawab Candra.
“Boleh juga. Pas banget besok ada ekstra futsal,” jawab Ciko.
“Lo udah kabarin anak-anak yang buat ikut tanding?” tanya Candra pada Alex.
“Udah,” jawab Alex. “Lo, dalam rangka apa punya rencana tanding sama Zafran?” lanjutnya, bertanya pada Candra.
“Reina. Apa pun caranya, gue harus dapetin Reina balik. Sekali pun taruhan nyawa,” jawab Candra dengan sorot mata tajam.
“Tapi, Zafran, dia itu—”
“Apa? Kuat? Dia manusia, gue juga manusia man. Jadi kita juga sama-sama punya kelemahan.” Candra memotong ucapan Yuda yang belum selesai.
“Tapi, lo emang masih ada rasa sama Reina? Atau, lo juga ngincer hal lain?” tanya Yuda meneliti dengan raut wajah Candra yang tidak bisa ditebak.
“Kalau iya lo ada rasa, terus cewek kemarin malam siapa?”
•••
“Brian!”
Merasa ada yang memanggil namanya, Brian berhenti di tengah lapangan, mencari dan menoleh dimana sumber suara itu.
“Gue di sini, Brian,” ujar Reina sambil terkekeh tepat di belakang Brian.
“Kenapa?” tanya Brian datar, namun tidak sedatar saat Brian bertemu dengan perempuan lain. Sangat terlihat jelas memang. Sifat Brian yang dingin itu tidak diragukan lagi, tatapannya yang tajam seperti Zafran. Namun, semuanya berubah ketika bersama Reina. Entah itu sifat, ucapan, tatapan, bahkan perlakuan. Apa mungkin, karena Reina pacar Zafran? Teman Brian sendiri?
“Zafran tadi malam, dianter sampai rumah ‘kan?” tanya Reina penasaran.
Semalam, karena badannya Zafran yang tidak memungkinkan untuk pulang naik motor sendiri, Reina menelfon Brian, untuk mengantar Zafran pulang. Brian membawa mobilnya bersama dengan Vano, lalu Vano yang mengendarai motor Zafran.
“Iya, gue anterin sampai rumah. Udah mendingan juga pas sampai rumah,” ujar Brian menjelaskan.
“Makasih ya, Yan. Maaf banget, gue selalu ngrepotin lo,” ujar Reina dengan merasa tidak enak.
“No problem,” jawab Brian santai.
“Masih pagi banget, gue anterin lo sampe kelas,” ujar Brian kepada Reina saat mulai memasuki koridor sekolah.
“Gak usah! Gue bisa sendiri, Yan. Lagian kelas lo sama gue jaraknya jauh loh,” tolak Reina.
“Gak apa-apa, lagian gue juga senggang. Masih pagi belum banyak orang, bahaya,” ujar Brian.
“Ya udah deh. Tapi gak ngrepotin lo ‘kan?” tanya Reina memastikan.
Brian menggeleng pelan sambil menatap lurus ke depan, dengan kedua tangan iya masukkan ke dalam saku celana, persis Zafran. Reina menganggukkan kepala, dan berjalan menuju ruang kelas bersama Brian. Selama berjalan menyusuri koridor sekolah, Reina bahkan Brian bungkam, tidak ada lagi suara atau percakapan diantaranya. Reina yang merasa kikuk dan tidak nyaman, akhirnya dia buka suara.
“Lo, udah kelas 12 masih aja ikut lomba sih?” tanya Reina memecah keheningan. “Gue aja sekarang udah pensiun ikut lomba, kok lo masih aktif aja sih,” celotehnya lagi.
“Iya, sekalian ngajarin adik kelas yang ditunjuk buat penerus lomba juga,” jawab Brian.
“Emang Bu Ina enggak nyuruh lo buat ngajarin adik kelas lomba?” tanya Brian.
“Enggak,” jawab Reina polos.
“Iya enggak, soalnya lo udah sibuk sama basket lo Na,” ujar Brian sambil menahan tawa. “Soalnya Bu Ina gak mau lo jadwalnya padet, makanya olimpiade kayak gitu gue yang di utus, lo udah di utus sama Pak Bejo ‘kan buat ngajarin basket juga?” Brian bertanya terus terang dan menjelaskan kepada Reina.
“Kok lo tau?” tanya Reina bingung.
“Iya tau ‘kan Bu Ina yang ngasih tau gue. Polos banget jadi cewe,” ujar Brian menatap Reina gemas, karena perempuan ini benar-benar polos dihadapannya. Reina hanya terkekeh menahan malu.
“Otak lo pinter juga ya, gue kira, lo sama kayak temen-temen lo yang lain. Yang gak ada akhlak,” ujar Reina sambil membayangkan tingkah laku konyol teman-teman Zafran.
“Semua itu sama, Na. Cuma beda aja. Merekanya aja yang malas belajar,” ujar Brian menjelaskan.
“Lo yang selalu berangkat pagi sendiri ya, Yan?” tanya Reina ketika mereka sampai di depan kelas Reina.
“Iya,” jawab Brian lembut. “Udah sana lo masuk, piket ‘kan?” lanjutnya.
“Hehehe, iyaaa,” kekeh Reina, memanjangkan jawaban iya. “Makasi ya udah nganterin sampe kelas,” tambahnya.
Brian mengangguk dan memandang Reina dari depan pintu kelasnya, seulas senyum tercipta di sudut bibirnya.
“Apa iya, gue bisa dan pantas?” gumam Brian.
KAMU SEDANG MEMBACA
HESITANT
Teen FictionMasa lalu atau masa depan apakah sama? Mengandung luka namun banyak arti atau menyimpan banyak kenangan indah namun menyakitkan? Dengan kehadiaran kedua lelaki dikehidupan yang baru, sungguh menyulitkan. Antara harus tetap bertahan dengan yang sekar...