BAB 15-KENAPA?

251 16 3
                                    

Jika dia sayang, dia pasti akan berjuang. Jika dia tidak berjuang? Ya dia tidak sayang. Simple aja.

•••

“Reina!”

Suara berat seorang pria dari arah barat berhasil membuat keduanya menoleh, dan membuat ucapan Deon terpotong.

“Baru pulang? Tumben,” ujar pria itu.

“Iya, maaf tadi lupa ngabarin. Kak Rey, habis dari kantor papa?” tanya Reina.

Reyhan mengangguk, dia lalu mengalihkan pandangan ke Deon dan beralih ke Reina. Menandakan pertanyaan ‘Siapa dia?’

“Ah, iya! Deon, ini, Kak Rey. Abang gue,” ujar Reina mengenalkan.

Deon tersenyum kikuk. “Halo, Kak. Deon, temen sekolah Reina,” ujar Deon sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

“Reyhan,” jawab Reyhan datar.

“Ayo masuk, udah mau magrib,” ujar Reyhan mengingatkan.

“Iya, sebentar. Tadi lo mau ngomong apa, Yon?” tanya Reina mengulang, ucapan Deon yang tadi terpotong.

Deon melirik ke arah Reyhan, pandangan dingin yang di dapatnya membuat bulu kuduk Deon berdiri.

“Gak kok, gak jadi. Gue pulang duluan, permisi, Kak,” pamit Deon.

“Makasih, ya. Hati-hati,” ujar Reina.

Deon mengangguk dari balik helm full face-nya. Dia lalu menyalakan gas motor dan melaju meninggalkan halaman depan rumah Reina. Reina menatap Deon hingga perlahan batang hidungnya menghilang dari kompleks perumahannya. Reina merangkul lengan Reyhan dan masuk ke dalam rumah besarnya.

“Jadi, kamu ikut lomba olimpiade lagi?” tanya Viona, saat menyiapkan makan malam di ruang makan.

“Iya. Reina juga mungkin pulang telat, sama, mungkin bakal pulang bareng Deon terus,” ujar Reina sambil menata piring di meja makan.

“Bagus deh, Mama bangga sama kamu. Bakal keluar negeri beneran anak gadis Mama satu ini,” puji Viona sambil mencubit pipi Reina.

“Ayo semua turun! Makan dulu!” teriak Viona.

Satu keluarga Reina pun menikmati makan malam sembari berbincang santai, dan membahas lomba olimpiade Reina.

“Kalau pulang terlambat, minta jemput Candra,” ujar Bima.

“Kenapa?” tanya Reina.

“Kenapa? Dia ‘kan yang sudah tahu kamu, paham sama kamu. Kamu juga ‘kan tun—”

“Papa cukup! Reina mau berterus terang saja. Reina gak setuju acara itu. Tolong, Mama sama Papa hargai keputusan dan keinginan Reina. Apa kalian gak ingat, Zafran itu pacar Reina. Reina masih punya pacar!” tegas Reina dan memperjelas.

“Bisa apa dia? Sudah bisa di tebak memang masa depan kamu kalau sama dia?” tanya Bima menekan.

“Masa depan gak pernah ada yang tahu, Pa. Tolong, tolong Papa menilai orang jangan dari luarnya aja,” ujar Reina membela.

“Iya dia pacar kamu, belum tentu kamu sama dia terus,” balas Bima.

Viona hanya menatap bingung perdebatan antara anak dan ayah. Viona hanya mengelus lengan Bima pelan, supaya menahan emosinya terhadap Reina. Sedangkan Reyhan, hanya menatapnya datar dan menikmati makan malamnya dengan santai. Karena dia paham, kalau ini akan terjadi.

“Kalau kamu tidak putus dengan Zafran, Papa tidak segan-segan akan berbuat semau Papa,” ujar Bima memberi peringatan.

“Pa, bisa gak, Papa gak keras kepala?” ujar Reyhan. “Reina masih sekolah, belum juga lulus. Masih mau kuliah lagi. Papa gak bisa seenaknya mengatur masa depannya.”

“Justru Papa mau mengatur masa depannya yang terbaik buatnya,” balas Bima.

“Mengatur masa depan? Tarik ucapan Papa! Papa justru mengatur masa depan bisnis perusahaan Papa, dengan cara merusak masa depan Reina!” Reina murka, dia sudah habis kesabaran. Habis sudah dia menahan diri supaya tidak melawan orang tua di depannya ini.

“Reina, maksud Papa kamu itu baik, Sayang,” ujar Viona menenangkan.

“Mama sama aja. Gak pernah ngerti perasaan anak.” Reina lalu bangkit dari duduknya dan beranjak naik ke atas kamarnya. Membanting pintu kamar dengan sangat keras.

“Tolong Papa lebih dewasa lagi mikirnya. Papa juga belum tahu betul ‘kan, bagaimana perusahaan Candra, bagaimana keluarganya? Saran Reyhan, lebih baik Papa menggali informasinya dulu sebelum bertindak, supaya tidak menyesal bagaimana akhirnya,” ujar Reynah memberi saran.

Reyhan pun beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruang makan, yang tersisa Viona dan Bima. Viona hanya membuang napas kasar, melihat kedua anaknya yang memilik sifat sama, seperti Bima. Suka membantah.

Reina duduk di kursi dan menghadap ke arah meja belajarnya. Buku yang bertumpuk dan berjajar rapi di rak, bahkan bolpoin dan pensil beranekan ragam bentuk, merk berkumpul rapi menjadi satu. Meja belajar yang bercat putih itu memang terlihat sangat rapi dan menarik.

HESITANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang