BAB 16-AKU RINDU

226 16 6
                                    

Happy Reading! ❤❤❤
Gak ada quotes. Wkwkw. Masih gak sempet mikir buat yang pas.

•••

“Abang Zafran! Dedek kangen!” teriak Abi dari ujung pintu, dan berlari masuk ke dalam Waping.

“Najis banget,” ujar Leon.

“Mana mau Zafran punya adek sejenis Abi. Yang ada diusir dari rumah,” ujar Yovie.

Semua yang berada di Waping menatap Abi horor. Suara berat yang menggelegar mengagetkan semua yang ada di dalam. Zafran tengah duduk di sofa tua panjang, dengan kaki lurus menopang pada meja. Tatapan terfokus pada benda pipih di kedua tangannya. Zafran menatap Abi datar, yang sudah berdiri di depannya. Lalu mengalihkan pandangannya ke layar ponselnya kembali.

“Zaf,” panggil Abi dengan kedua tangan melipat di dada.

“Sombong banget. Liat kelakuan temen lo. Emangnya gue makhluk gaib apa, gak keliatan,” ujar Abi kesal, karena Zafran tidak menanggapinya sama sekali.

“Itu lo nyadar,” celutuk Zafran.

“Hahaha ...! Udah badak, makhluk gaib lagi. Ih serem,” ujar Yovie tepat di belakang Abi.

“Ya allah, jadi selama ini gue temenan sama makhluk gaib? Astaganaga, pantesan bulu kuduk gue sering berdiri, merinding,” sahut Vano.

“Bangsat!” umpat Abi kesal.

“Bacain ayat kursi weh, buruan,” ujar Yovie, menyenggol Vano.

“Dasar gak ada akhlak lo semua,” ujar Abi kesal. “Salah teros salah teros gue,” ujar Abi lagi.

“Gitu ae ngambek. Kayak cewek,” balas Vano.

“Mbok, gebukin itu sana anak-anaknya. Kalau ngomong gak pernah pake otak,” ujar Abi mengadu pada Mbok Sar, pemilik warung samping sekolah itu.

Mbok Sariyem atau biasa dipanggil Mbok Sar, sudah menganggap keluarga, anak-anak yang sering menongkrong di warungnya. Bahkan sangat paham betul bagimana mereka, atau sifatnya. Beliau juga sudah menganggapnya sebagai anak. Mbok Sar tinggal bersama suaminya, mempunyai 1 anak, yang sedang merantau.

Bagi mereka yang suka mengobrak-abrik Waping, Mbok Sar adalah ibu kedua mereka. Yang senantiasa sabar, tidak pernah marah walau suka mengomel. Bahkan tidak segan-segan beliau juga membantu jika ada yang kesusahan. Terlebih lagi Zafran, yang sudah sangat dipahami oleh Mbok Sar. Memang, jika orang yang berlalu lalang melewati Waping akan berpikir yang berbeda.

Mereka akan berpikir, bahwa anak-anak sekolah yang suka tawuran. Tak kenal sopan santun dan sangat nakal. Nakal, nakal, berandal. Orang pasti beranggapan seperti itu. Terlebih lagi orang tua. Namun nyatanya tidak. Mereka hanyalah anak-anak SMA biasa yang ingin menikmati masa putih abu-abunya, yang tidak akan pernah terulang kembali. Melainkan akan menjadi sebuah kenangan, cerita untuk masa depan yang akan datang.

Memang suka bolos sekolah atau pelajaran, namun mereka punya batasannya. Ada waktunya dan alasan yang tidak masuk akal. Hahaha.

“Beraninya ngadu,” ujar Leon sambil melempar bungkus gelas plastik bekas minuman kepada Abi.

“Buang sampah pada tempatnya,” ujar Abi yang sedang mengambil satu bungkus indomie instan.

“Salah. Yang ada itu, buang sampah pada temannya,” ujar Leon membenarkan.

“Pala lo gue penggal,” jawab Abi.

“Ambil itu bungkusnya, weh. Buang ke tempat sampah yang bener,” ujar Mbok Sar kepada Leon.

“Hehehe ... iya Mbok. Canda tadi,” kekeh Leon.

“Brian mana?” tanya Zafran tanpa mengalihkan pandangannya. Masih tetap fokus pada benda pipih di kedua tangannya.

“Kan nungguin Reina. Gimana si lo,” jawab Vano.

“Kenapa gak lo aja yang jemput, Zaf?” tanya Leon. “Lo ‘kan pacarnya. Masa orang lain yang suruh jemput terus bawa kesini,” ujar Leon lagi.

“Gue tadi ada urusan sama distro,” ujar Zafran datar.

“Kan tadi, bukan sekarang. Toh Reina ‘kan pulang telat, dia latihan dulu buat lomba,” ujar Leon menjelaskan.

“Lo kenapa?” tanya Zafran menatap Leon.

Zafran merasa risih dan tak suka, dengan apa yang baru saja Leon bicarakan. Tatapan dingin dan datar tanpa ekspresi, seperti itulah raut muka Zafran.

“Gue? Kenapa? Harusnya gue yang nanya ke lo. Lo kenapa? Kenapa lo selalu nyuruh Brian?” tanya Leon mulai serius.

Abi menatap dengan serius. Kali ini suasana beda dengan sebelumnya. Abi yang sedang mengaduk mie dengan bumbunya, menatap fokus Zafran dan Leon. Yovie yang duduk di depan Zafran, beralih di sampingnya. Sebaliknya dengan Vano, yang di sebelah Leon. Mereka takut, seakan-akan emosinya tidak terkontrol.

Karena Zafran sangat sensitif dengan perkataan orang yang sangat serius. Bahkan, jika orang itu salah kata dalam pengucapannya, dan mampu membuat amarah Zafran bergejolak. Jangan ditanya lagi, dia akan bereaksi. Seperti seekor singa yang sedang tertidur, dan diganggu oleh musuhnya.

“Kenapa? Gue gak nyuruh, gue minta tolong. Dia gak ada protes, kenapa lo yang protes?” tanya Zafran. Dia lalu mematikan ponselnya, dan menaruhnya di atas meja.

“Lo itu pacarnya, harusnya lo bukan malah temen lo. Bukannya apa-apa, gue gak seneng aja liatnya. Lo emang gak ngerasa, semakin lo minta tolong bantuan Brian, Brian selalu paham sama Reina. Lo? Lo enggak ‘kan?” tutur Leon.

Zafran masih tetap bergeming, tidak menjawab. Tangannya dia lipat di depan dada, dan mencerna apa yang Leon bicarakan kepadanya.

“Maaf Zaf. Bukannya gimana. Gue takutnya, Brian atau Reina malah punya rasa. Percaya, perasaan orang akan beda, dan akan berubah. Mungkin sekarang enggak, kalau besok gak tahu,” ujar Leon lagi.

“Brian gak mungkin punya rasa. Gue kenal dia dari lama,” ujar Zafran biasa.

“Iya mungkin mulut lo bilang enggak. Tapi yang namanya perasaan, semua orang gak bakal bisa nebak, melainkan dirinya sendiri yang ngerasain,” balas Leon.

“Breng—”

“Eh Zaf, mau ngapain,” tukas Yovie dengan cepat. Menarik lengan Zafran yang baru saja akan memukul Leon.

“Mundur Le,” bisik Vano.

Zafran mengembuskan napasnya. Lalu menyandarkan punggungnya pada sofa. Pandangan lurus menatap ke depan. Lengannya masih terkunci oleh kedua tangan Yovie, yang membuatnya tidak bisa berkutik.

“Gue cuma mau bilangin lo Zaf. Pastiin lo pikir baik-baik. Satu lagi, Reina satu lomba sama Deon, anak baru yang pernah lo temuin pas gak sengaja nabrak Reina di toilet,” ujar Leon.

Zafran diam, menghiraukannya. Notifikasi dari ponsel Zafran membuatnya monoleh. Dia segera mengambil ponsel dan membuka. Zafran membacanya dengan serius.

“Gak usah di ambil serius. Cuma nasehatin aja sesama temen,” ujar Yovie lirih.

“Woi! Serius amat suasananya,” ujar Abi mengagetkan. Dia menggebrak meja dengan kedua tangannya, setelah meletakkan semangkuk indomie kuah di atas meja.

“Pada ngapain sih? Mending makan nih makan mie biar pada adem otak lo,” ujar Abi lagi. Lalu mengaduk-aduk mie buatannya sendiri.

“Panas yang ada, bego. Kalau adem, tambahin es batu sana mie lo,” ujar Yovie.

“Gue cukil malah otak lo,” sahut Vano.

“Otak gue mahal,” jawab Abi. Meniup mie dan melahapnya, sembari masih panas.

“Beneran. Gue jadi kaya, gak perlu kerja. Tinggal ambil organ tubuh lo, terus gue jual,” ujar Vano sambil mengeluarkan asap dari hidung dan mulutnya. Ya, vape. Vano sangat hobi menggunakan vape daripada rokok.

Psikopat lo. Gak ada akhlak,” ujar Abi dan menatapnya ngeri.

“Gue suka gaya lo Van,” tutur Adi, cowok satu sekolah dengan Vano dan lainnya, yang baru saja melintas di depan Vano, lalu kembali keluar bersama teman-temannya.

“Mbok Sar! Pinjem pisau apa golok!” teriak Vano.

“Hahahah.”

“Bangsat lo Van. Dajjal,” ujar Abi dan berlari ngibrit, pindah haluan.

Yovie dan Leon tertawa terbahak-bahak melihatnya. Zafran hanya diam, menghiraukan. Masih tetap fokus membalas pesan dari seseorang.

“Abi! Kemana lo? Gue udah pegang golok! Mana lo?!” teriak Vano dari dalam.

“Biadab!” balas Abi dengan berteriak.

Zafran bangkit dari duduknya, lalu memakai jaket  kain biru dongker-nya yang tergeletak di kursi. Membenarkan tali sepatunya yang lepas, dan meneguk habis minumannya.

“Mau kemana, Zaf?” tanya Yovie.

“Panti,” jawab Zafran singkat.

“Reina?”

“Suruh pulang aja,” ujar Zafran.

“Sebenernya pacar lo Reina apa Aletta, Zaf?” tanya Leon.

Zafran menghentikan langkahnya. Dia mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Kemudian berbalik badan menatap Leon.

“Bukan urusan lo,” ujar Zafran menohok.

HESITANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang