Handy menerawangkan matanya ke langit. Mempertanyakan kemana lagi ia harus mencari sesuap nasi. Ibu dan adik-adiknya sudah merintih. Badai kehidupan telah datang dan tak mau pergi. Mentari belum lagi terbit…
“Brengsek!” Handy mengumpat sambil melayangkan pandangan matanya ke sudut jalan. Ia melihat seekor anjing geladak baru saja melarikan hasil curiannya untuk sekedar mengganjal perut. Tetapi Handy tidak seberuntung anjing itu. Handy pun mengerahkan tenaga terakhirnya dan mengencangkan betisnya. Dengan mulut menyeringainya, dikejarnyalah anjing itu lalu didapatinya sedang menikmati sepotong ayam goreng hasil curian di balik tempat sampah. Dengan mata yang berkilat basah, Handy langsung saja menggeprak kepala anjing itu hingga terkaing-kaing. Ia memukul anjing itu hingga berhenti bersuara lagi. Kemudian ia mendesah dan menyambar makanan yang sudah dilahap separuh oleh anjing yang kini tergolek tak bernyawa di dekat kakinya. Ia baru saja hendak berbalik pergi untuk kembali kepada ibu dan adik-adiknya, saat pikirannya terbersit untuk menikmati daging sebagai menu makan malamnya. Ia pun melirik pada seonggok daging mati di dekatnya lalu dipanggulnyalah hasil buruan di malam itu ke bahunya. Kepala anjing itu terkulai, bergayut ke bawah dan bergoyang-goyang saat Handy melangkahkan kakinya dengan senyuman yang merekah. Makan daging, batinnya.
Handy kembali menerawangkan matanya ke langit. Kembali ke masalah yang sama di setiap paginya, siang dan malamnya. Memikirkan tiga kali jatah makan untuk tiga mulut yang harus disuapinya di rumah. Ia menengadah ke langit. Berharap ada daging mampir seperti malam sebelumnya. Sudah seharian ia mengais harapan demi sesuap nasi, mencari pekerjaan ke sana-sini yang hanya memberikannya gelengan kepala tanpa suara. Dan hari seakan berlalu begitu cepat. Tanpa kabar gembira selain duka yang terus menjadi luka. Handy pun mulai lirak-lirik. Tidak ada anjing yang membawa daging hasil curian. Nasi basipun sudah habis dilahap pengemis. Handy menyandarkan tubuhnya ke belakang, pada sebidang papan bangunan reyot di perkampungan kumuh. Ia melihat seekor kucing melesat melewatinya. Tanpa daging curian. Tetapi kucing itu adalah seonggok daging di pemandangan matanya. Handy pun kembali mengerahkan sisa tenaganya dan menguatkan kaki-kakinya untuk mengejar kucing itu dan ia mendapatkannya. Ia langsung memuntir leher kucing yang terperangkap di antara rengkuhan jemarinya yang bergetar karena rasa lapar. KREK. Tulang leher yang patah terdengar berderak. Kepala kucing itu pun terkulai menggantung. Bagi Handy, itu adalah untung. Ia pun kembali pulang ke rumahnya. Membawa menu daging untuk ibu dan adik-adiknya.
Hari berikutnya telah datang lagi bagi kehidupan Handy. Hari yang tidak pernah ramah padanya. Selalu saja memahitkan hatinya, menghadapkannya kembali kepada kenyataan hidupnya. Pekerjaan tak juga didapatnya. Dan ia sudah muak dengan menyantap nasi bekas dari restoran apalagi nasi basi. Lidahnya sudah terbiasa dengan daging. Ia membutuhkan daging untuk malam ini. Dan terus melakukan perburuan di jalan-jalan perkampungan kumuh, mengurangi jumlah-jumlah hewan yang hidup liar. Ia mengurangi jumlah kucing liar secara signifikan di wilayah itu. Saat jumlah kucing berkurang di satu perkampungan, ia pun berpindah ke perkampungan lain. Hingga suatu malam, tak ada lagi yang bisa diburunya. Hanya ada tikus-tikus got yang jumlahnya semakin bertambah karena tidak ada yang memangsa keturunannya. Handy melengos. Ia sudah membayangkan seonggok daging. Tetapi yang dilihatnya, hanyalah laki-laki tambun yang terhuyung-huyung karena mabuk. Laki-laki itu baru saja keluar dari pintu sebuah kontrakan petakan yang Handy tahu betul, pemiliknya adalah seorang wanita tuna susila. Tampilan laki-laki itu pun jelas terlihat sebagai orang yang berkelimpahan. Timbunan lemaknya menceritakan pada Handy, betapa banyak makannya. Tetapi Handy tidak berpikir lagi tentang seonggok daging. Melainkan tentang segepok uang untuk membeli gas, beras, sayuran dan… daging.
Handy pun mencegat dan mendorong si laki-laki tambun hingga terjatuh. Saat laki-laki tambun itu sudah merebah, Handy merogoh cepat ke saku belakang celana pantalon mahalnya lalu menemukan dompet tebal tanpa kesulitan. Uang, batin Handy. Ia membayangkan jatah untuk makan tiga hari bagi tiga mulut dan mulutnya sendiri, yang teratasi sejak malam ini. Handy memastikan sekali lagi dengan memeriksa isi dompet yang terjepit di tangan-tangan gemetarnya akibat rasa lapar. Dan mendapati uang tunai dalam pecahan seratus ribuan. Ia pun menguras semua uang di dalam dompet itu lalu melemparkan sisanya kembali kepada pemiliknya. Kemudian meludah pada si laki-laki tambun, sebelum dirinya beranjak pergi.
Handy tertawa dengan begitu senangnya sambil berpikir;
Uang kecil hanyalah sekedar makan. Uang besar adalah makan kenyang dengan menu daging.
Langkah Handy pun terhenti. Ia menoleh kembali pada si laki-laki tambun itu. Handy melihat sebuntalan karung uang tergolek di jalanan karena terlalu mabuk.
Laki-laki tambun itu terlihat bagaikan sumber uang di pemandangan mata Handy. Sumber uang adalah makan kenyang dengan menu daging untuk jangka waktu yang panjang, batinnya.