“Handy…”, panggil Ridwan. Ridwan adalah seorang bos besar sementara Handy hanyalah seorang supir yang baru dipekerjakannya selama sebulan ini.
“Ya, pak?” Handy menyahut sambil datang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. “Mau dibawa'in tasnya, pak?”, tanya Handy sopan. Ia sudah mengulurkan kedua tangannya untuk membawakan tas kerja milik Ridwan. Ridwan tersenyum senang. Handy adalah pekerja yang sopan, rajin dan tidak pernah berhitung-hitungan di dalam melakukan pekerjaannya. Ia mau disuruh-suruh untuk membeli sesuatu ke minimarket, membuatkan kopi sampai memijat sepasang kaki Ridwan yang lelah. Selain itu, tampilan Handy sangat rupawan, bersih dan harum. Ridwan pun tak segan-segan untuk membelikannya ini-itu juga memberikannya uang tambahan. Handy pun tak menolaknya. Ia merasa berhak untuk menerimanya karena ia juga sudah memberikan lebih pada majikannya.
Ridwan pun mengulurkan tas kerjanya yang berbahan kulit dan terlihat sangat mahal. Handy sudah sangat menyukainya sejak pertama kali tangannya menyentuh ke permukaannya... kulit asli. Handy pun bergegas mendahului Ridwan, menuju ke mobil sedan hitam mewah dan meletakkan tas itu di jok belakang, tepat di samping Ridwan biasa duduk.
Ridwan pun bergerak untuk memasuki mobilnya. Ia adalah laki-laki bertubuh pendek dan tambun serta berdahi lebar, dikarenakan helaian rambutnya yang semakin menipis setiap harinya.
Handy melesat masuk ke balik setir. Ia juga sangat menyukai apa yang dilihatnya di dalam mobil, dari interior sampai asesorisnya. Juga ke bantalan yang melekat di belakang kepalanya, yang terjepit-melekat pada sandaran jok. Ia melirik ke belakang dan melihat sang majikan sudah duduk manis di samping tas kulitnya. Handy pun melajukan mobil untuk segera membawa Ridwan ke kantornya di Kawasan Gatot Subroto.
Dan selama menunggu majikannya bekerja, Handy biasa menyempatkan dirinya pulang ke rumah untuk mengajak ibu dan adik-adiknya berkendaraan dengan mobil mewah meskipun hanya memutari jalan-jalan, tanpa tujuan. Menjelang sore, Handy mengantar ibu dan adik-adiknya itu kembali ke rumah lalu melesatkan mobil ke Gatot Subroto dengan lebih awal agar tidak terjebak macet, demi menjemput majikannya.
Handy sudah sampai ke lahan parkiran gedung kantor milik Ridwan. Ia berdiri tegak dengan kepala menengadah ke atas, melihat kemewahan gedung yang berdiri menjulang dengan gagahnya. Ia pun sudah membayangkan dirinya memiliki kantor sendiri yang tampilannya seperti itu.
“Handy…” Suara renyah terdengar memanggil lembut dari arah belakang. Handy pun menoleh. Sang nyonya majikan muncul mendadak, bertepatan dengan taksi yang baru saja melaju pergi. Frida si nyonya besar yang sudah berusia kepala tiga, telah sampai ke sini dengan menggunakan taksi, begitulah Handy berpikir. “Loh, bu… kenapa ‘gak telpon? ‘Kan bisa saya jemput…” Handy membuka mulutnya sambil memandang lurus ke wajah Frida.
Frida menggeleng sambil tersenyum hangat. Ia adalah perempuan berwajah blasteran yang cantik dan klasik serta bertubuh molek. Handy pun sempat terpaku memandangi raut wajah Frida dan lengkungan indah yang membentuk pinggang serta pinggulnya. Tetapi Handy segera tersadar kembali. Menapak ke bumi kembali. Mengingat siapa dirinya dan apa statusnya.
“Gak apa-apa. Saya takutnya, bapak butuh kamu stand by di sini", sahut Frida dengan suara yang lembut dan nada bicara yang santun.
Handy pun manggut-manggut. “Baik, bu…”, sahutnya juga santun. Ia memperhatikan sepasang kaki Frida yang melangkah dengan anggun untuk masuk ke dalam gedung. Handy pun bersandar ke pintu mobil sambil menerawangkan matanya. Ia menyukai semua yang Ridwan miliki. Ia juga mulai menyukai sosok Ridwan karena selalu memperlakukannya dengan baik.
Tak berapa lama kemudian, Ridwan muncul di pintu utama gedung. Pintu kaca itu membuka secara otomatis saat Ridwan mendekatinya. Ridwan pun melambaikan tangannya pada Handy. Wajahnya selalu tersenyum ramah dan hangat. “Handy… lama nunggunya?”, tanya Ridwan sambil menyodorkan tas ke tangan Handy yang sudah terulur ke arahnya. “Udah tugas saya, pak”, sahut Handy. Ia langsung membukakan pintu bagi Ridwan dan yang bersangkutan pun langsung melesat masuk ke jok belakang. Handy menyandarkan tas itu di samping Ridwan kemudian menutup pintunya kembali. Lalu Handy menyempatkan jemari kasarnya untuk menyentuh polesan berkilau di badan mobil sambil membayangkan kalau dirinya juga bisa memiliki mobil semewah itu.