Terik matahari terasa menyengat. Udaranya pun terasa pengap. Handy melihatnya sebagai pertanda kalau nanti sore atau malam, hujan mungkin akan turun. Ia juga sudah memeriksa keadaan cuaca hari ini melalui aplikasi di telepon genggamnya. Pas, batinnya.
Handy melirik arlojinya. Ia sudah berpiluh di balik balutan jaket sweaternya, setelah setengah jam menunggu kemunculan Ari di sebuah tempat makan pinggir jalan di kawasan Setia Budi, Cawang. Dan sekitar lima belas menit kemudian, Ari pun muncul. Handy merekahkan senyumannya dan langsung saja memesankan makanan dan minuman yang Ari minta. Lalu mereka berkasak-kusuk dengan begitu seriusnya.
Ari menyerahkan kotak kemasan berisi telepon genggam baru yang dibelinya di Bandung. "Harangga berdomisili di Bandung", mulai Ari. "Nomor udah gue registrasi'in pake data dia."
Handy masih senyam-senyum saat menerima sodoran dari Ari. "Bersih?", tanyanya.
"Bersih dari sidik jari siapapun...", sahut Ari berbisik, dengan mata yang memutar ke sekeliling ruangan. Handy pun hanya mengangguk-angguk. Kemudian merogohkan tangannya ke dalam saku jaketnya dan menarik keluar sebuah amplop coklat yang langsung saja disodorkannya pada Ari. "Nih", kata Handy, "Jatah lo."
Ari pun menerima amplop itu dan memasukkannya begitu saja ke dalam ransel merahnya tanpa memeriksanya lagi. Pemandangan itu membuat Handy tertegun. Ia menyorot lurus ke wajah Ari yang sempat merunduk saat merapatkan resleting tasnya kembali. Ari mengangkat kepalanya dan bertemu pandang lagi dengan Handy. Ia pun mengerutkan pucuk hidungnya dan melirik tajam dari balik kaca mata minusnya. "Kenapa lo?", tanyanya.
Handy tersenyum kecil dengan mata yang meredup. "Enggak. Tumben aja. Uang dari gue, 'gak lo itung lagi..." Suara Handy terdengar pelan.
Ari hanya melenguh kemudian tertawa lebar. "Udah 'gak perlu lagi! Itu sih, dulu! Jaman lo kere! Sekarang, lo tajir kayaknya... isi amplop yang kemaren aja..." Ari menarik nafasnya dan menghembuskannya dengan mata yang berbinar-binar. "...memuaskan..." Ari geleng-geleng kepala. "Meski gue 'gak yakin, kalo duit lo halal...", suara Ari berbisik lagi, "Itu sih, urusan lo. Gue taunya rebes dan beres. Baik urusan maupun bayaran. Titik."
Handy merundukkan kepalanya. "Gue 'gak tau... apakah pemberian itu halal..." Ia terdengar menggumam pada dirinya sendiri.
Ari terkekeh sambil geleng-geleng kepala. "Gak ada yang gratis di dunia ini. Dermawan udah punah. Kalo tukang suap sama tukang sulap, banyak... apa lo disuap?" Mata Ari sudah memicing pada Handy.
Handy mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Ari. "Bisa dibilang begitu, sih...", sahutnya sambil memiringkan kepalanya sedikit dan mendesah kecil. Ia tidak terlihat bangga.
"Waduh!" Ari langsung celingukan, memutar matanya ke seluruh ruangan. Tangannya sudah merenggut tas ranselnya dengan cepat dan tubuhnya sudah separuh bangkit dengan ancang-ancang siap lari.
"Heh!", sentak Handy dengan mata bulatnya yang membelalak. "Lo kenapa?"
Ari menatap ke Handy lagi. Wajahnya sudah terlihat panik. "Kalo urusannya sama KPK, gue cabut, dah... bye bye poreper ma lo. Bukan 'gak lapyu... tapi 'gak ikutan yuk!" Ari menurunkan kaca mata minusnya dengan mata membelalaknya yang terus memutar ke sana-sini, mengawasi keadaan.
Handy melengos panjang. "Dasar bego. Enggaklah..."
"Yakin lo? Sumpeeeeh? Suweeer? Dower lo, yah! Kalo bo'ongin gue!", sahut Ari dengan wajah konyolnya.
Handy mengangguk kalem sambil tersenyum kecil. "Iya... beneran. Udah, duduk." Handy menekan bahu Ari agar kembali duduk.
Ari pun duduk lagi sambil mengelus-elus dadanya. Ia melengos lega. Tetapi ganti Handy lah yang kini bangkit berdiri sambil menarik selembar uang lima puluh ribuan dari dompetnya dan meletakkannya ke atas meja. "Gue cabut, ya. Mau jemput boss ke kantornya...", katanya berpamitan. Tangannya sudah memasukkan kotak berisi telepon genggam barunya ke dalam tas.