Handy memberhentikan sebuah angkutan umum. Mobil kijang berwarna biru muda itu akhirnya berhenti setelah sedikit melewati posisi Handy berdiri. "Kampung Melayu!", teriak si kenek. Handy pun berlari kecil menuju ke pintu masuk dan merundukkan tubuhnya untuk bisa menyusup ke dalam.
Ia sudah menyelesaikan pekerjaan di hari ini dengan membawa pulang uang tunai senilai empat juta di dalam tas parasut hitamnya yang sudah robek di beberapa bagian. Handy pun duduk termenung sambil memandangi tas lusuhnya itu dan berpikir untuk membeli yang baru. Kemudian sambil lalu, ia sempat melihat plang besar bertuliskan "KURSUS MEKANIK UNTUK KENDARAAN BERMOTOR". Lalu melihat plang berikutnya yang sangat kecil tetapi sempat tertangkap oleh matanya, "KURSUS KILAT MEMBUAT KUNCI DUPLIKAT". Ia berniat untuk mengikuti dua kursus itu sekaligus.
Handy mulai menguap setelah kendaraan sudah melaju melewati Penas. Lalu menyeberang untuk mengarah ke Kampung Melayu. Handy pun mulai mengerjap-ngerjapkan matanya, setengah mengantuk. Dalam keadaan yang mulai tertidur, Handy sempat mendengar suara menggelegar para perempuan yang meneriakinya "maling". Sebagian lagi, meneriakinya sebagai anak yang tidak bisa membanggakan orang tua. Handy pun kembali membuka matanya lebar-lebar. Dan memandang berkeliling. Ia tidak melihat adik-adik perempuan ayahnya yang bermulut tajam dan suka sekali menghakiminya hampir di sepanjang hidupnya karena ia tidak mampu membiayai perawatan ayahnya di rumah sakit, sehingga ayahnya itu dengan terpaksa di bawa pulang tanpa pengobatan yang lebih lanjut dan akhirnya meninggal. Handy menghela nafasnya dalam-dalam. Dadanya terasa sesak dan pedih, mengingat banyaknya mulut yang berkata bahwa ia tidak menyayangi ayah kandungnya sendiri hanya karena jumlah nominal uang yang tidak sanggup dipenuhinya pada saat itu.
"Kampung Melayu! Abis! Abis, ya!!!", teriak si kenek, menyuruh semua penumpang yang tersisa untuk turun. Handy pun turun dengan bergegas tanpa mau mengalah dengan ibu-ibu yang berusaha untuk mendahuluinya. Gagang payung milik ibu itu sempat menohok ke pinggangnya. Tetapi ia tidak perduli. Ia bersikeras untuk melangkah ke pintu lebih dulu, dengan tubuh yang merunduk. Lalu berlari kecil menyeberangi jalan dan masuk ke gang sempit, tak jauh dari kawasan terminal Kampung Melayu.
"Handyyyy...", goda salah satu penghuni perkampungan yang mengenakan rok mini ketat dan memulas wajahnya dengan riasan yang menor. Handy memperhatikan eye shadow kebiruan yang dipakai perempuan itu. Warna itu juga pernah menghiasi mata indah nyonya besarnya dan membuat tampilan mata si nyonya semakin memukau. Tetapi perempuan yang baru dilihatnya tadi, membuatnya bergidik takut. Ia tak berminat dengan perempuan di pinggiran jalan yang senang menggoda laki-laki manapun yang lewat.
Handy mendengus. Ia menganggap seleranya sangatlah tinggi bila berurusan dengan yang namanya perempuan pilihan. Ia hanya berminat dengan tampilan yang seperti Frida. "Frida..." Handy menggumam kecil. Sambil kakinya tetap melangkah dengan lebih cepat. Seandainya kamu belum dimilikin sama siapa-siapa, batinnya. Ia melihat Frida bagaikan wujud kemewahan yang bisa bersuara, bergerak dan... menangis.
Handy pun tiba di rumah kontrakan yang kecil, yang letaknya terpencil di ujung gang yang buntu. Ia selalu mencium bau sampah yang menyengat setiap kali kakinya tiba di muka rumahnya yang tidak memiliki pagar dan hanya memiliki satu pintu papan. "Mama..." Handy langsung melihat wajah ibunya saat pintunya sudah terbuka. Ruangan di rumahnya hanya memiliki satu ruang tamu yang sempit, satu ruang lain di belakangnya yang digunakan untuk dapur dan tempat meletakkan perabotan kemudian satu petak sempit di sisi kiri untuk sumur sekaligus jamban dan tempat untuk mandi. Untuk tidur, Handy harus berjubelan dengan ibu dan adik-adiknya di ruang tamu, dengan hanya beralaskan matras tipis yang dilapisi seprei seadanya.
Handy sudah tersenyum lebar pada ibu dan kedua adik perempuannya. Ia mengeluarkan amplop yang menggembung padat dari balik saku jaketnya. Lalu menggoyang-goyangkannya di hadapan anggota keluarganya. "Ayo, tebak... apa menu makan besok? Dan kemana kita bakalan pergi hari minggu ini?" Senyum Handy semakin merekah, melihat wajah ibu dan kedua adiknya yang sudah berseri-seri.