Handy mengangkat satu tangannya ke atas. Seakan meminta waktu untuk berhenti sejenak. Di sepanjang hidupnya, baru sekaranglah ia mendengar... begitu banyaknya orang terus saja memanggil dan menyebut-nyebut namanya. Tetapi tidak ada suara ibunya. Tidak ada suara Nia dan Silvi. Tidak ada suara Frida. Hanya ada suara-suara asing yang memintanya untuk mengambil keputusan, mengikuti rapat, hadir ke acara, memimpin upacara, menandatangani ini-itu, memintanya ke sini dan ke situ, menyapanya, mengangguk hormat padanya, memberitahu apa yang harus dilakukannya dan menegur kesalahan-kesalahannya...
Sisanya hanya terdengar berkasak-kusuk.
Handy memutar matanya berkeliling. Orang banyak menganggapnya sebagai orang penting. Tetapi tidak seperti yang dibayangkannya. Ia tidak siap untuk semuanya itu. Ia mengingat bagaimana Ridwan dulu memasuki gedung kantor yang terlihat mewah dan membuatnya iri. Tetapi di balik kemewahan itu, ada tanggung jawab besar yang harus dipikul. Berikut segala tekanannya.
Handy berpikir kalau keturunan sesepuh Jujiman tidak menyukai keberadaannya sebagai bagian terpenting dari klan. Mata mereka memandang Handy sebagai orang yang tidak mengerti apapun dan menegurnya bukan untuk membuatnya mengerti. Tetapi untuk menekan dan mempermalukannya.
Handy ingin belajar lebih banyak kalau saja waktunya tidak sedikit. Dan ia hanya menunggu waktu-waktu terakhirnya untuk menghadapi sidang besar di dalam hidupnya, sebagaimana yang dikatakan Frida, dua hari lagi... paket dari Frida akan sampai ke tangan sesepuh.
Handy memutar matanya lagi. Ia tetaplah seorang asing di tengah kumpulan itu. Ia bukanlah dirinya sendiri.
Handy pun menyelesaikan sisa tugasnya di sore hari itu dengan wajah yang berselaput mendung. Dan kembali ke kediamannya di dalam keheningan yang tak tersampaikan dalam bahasa apapun selain kebungkaman.
Tidak ada yang bisa dinikmatinya...
Ia hanya menginginkan senyuman dari ibu dan kedua adiknya...
Ia hanya ingin Frida memandangnya berbeda...
***
Malam harinya, Handy kembali menyelinap, melarikan dirinya menuju pohon cemara. Di situlah, seharusnya Frida menunggu...
Handy merasakan angin bertiup kencang, menyapukan nuansa dinginnya. Angin seakan tidak ramah padanya.
Handy menggigil. Suara-suara di kepalanya mendakwanya lagi, Terkutuk!
Handy merapatkan jas mahalnya lebih lagi, dengan kedua tangan yang bersidekap di depan dadanya. Ia enggan untuk menoleh kemanapun. Gemerisik rerumputan yang bergesekan ditiup angin malam seakan menyoroti sepanjang langkahnya, berkasak-kusuk memberitakan kejahatannya. Terkutuk!, dera suara itu lagi, terus memenuhi kepalanya.
Terkutuk! Terkutuk! Terkutuk!
Handy menghentikan langkahnya tepat di bawah pohon cemara. Ia meremas kepalanya yang terus dipenuhi suara-suara yang sama, terus bertalu-talu menghantam pikirannya. Membuat matanya terus berlari, melirak-lirik ke sana-sini, dengan nafas yang sudah memburu. Ia membuka mulutnya sedikit untuk menghela nafasnya, mengurangi tekanan tinggi di dadanya.
Telepon genggamnya berbunyi. Dan pesan singkat dari Damian telah dibukanya...
Kami akan datang besok malam. Siapkan jamuan makan malam bersama.
"Aku 'gak takut lagi", gumam Handy. "Udah sejauh ini..." Ia memejamkan matanya. Ia memaksa dirinya untuk menikmati apa yang tersisa di dalam hidupnya. Ia mulai menerawangkan matanya berkeliling. Seakan menantang langit malam, pepohonan dan rumput-rumput yang masih bergemerisik. Lalu mencari-cari sosok Frida yang belum muncul juga.