BAGIAN 4

17.2K 1K 10
                                    

Handy sudah tiba di area parkir apartemen kawasan Lebak Bulus. Ia kembali menjepretkan kamera di telepon genggamnya dengan diam-diam, saat Ridwan mencium bibir Helena sebelum berpisah. Handy bahkan merekam percakapan singkat mereka,

"Inget... aku 'gak akan nyerah", kata Helena dengan nada lirih. Ia memeluk Ridwan dengan erat. "Ini 'gak adil buat kita... juga anak kita..."

Mata Ridwan tampak berkaca-kaca sewaktu ia menyahuti, "Cuma kamu. Sejak awal, cuma kamu... tapi aku 'gak berdaya..." Lalu Ridwan melepaskan pelukan Helena darinya. Ia melirik ke arlojinya dan menepuk-nepuk ke bahu Handy. "Kita harus buru-buru..." Ridwan pun langsung menutup pintu mobilnya saat Helena sudah melangkah mundur.

Handy mengangguk kecil. Ia melihat Helena mulai menitikkan air matanya. Lalu melambaikan tangannya saat mobil mulai melaju. Ridwan masih terus menoleh ke belakang. Seakan hari esok takkan pernah ada lagi bagi dirinya dan Helena.

Mobil sudah melaju ke jalan Fatmawati saat Ridwan berdehem kecil dan membuka suaranya pada Handy, "Handy..."

"Ya, pak...", sahut Handy sesantun biasanya, merespon dengan cepat juga seperti biasanya. Karena sikapnya yang tanggap itulah, Ridwan sangat menyukai Handy.

"Kamu mungkin berpikir buruk tentang saya sekarang ini...", sambung Ridwan pelan, dengan wajah yang merunduk.

Handy terdiam. Lalu membuka mulutnya sambil matanya melirik ke spion depan, "Saya enggak berpikir tentang sesuatu yang bukan urusan saya, pak. Cuma kerja'in tugas saya aja." Handy sadar kalau dirinya sudah menyangkal. Ia memang sudah berpikir buruk tentang Ridwan. Tetapi ia juga menilai nyonya besarnya tidak lebih baik dari laki-laki tambun yang duduk di jok belakang.

"Handy...", kata Ridwan lagi, "Saya bener-bener mohon sama kamu... jangan pernah biarin siapapun tau tentang hubungan saya sama Helena. Kalau ada yang tau, keselamatan Helena dan anak saya... bisa terancam."

Handy mengerenyitkan keningnya. Ia tidak berkomentar apapun karena dilihatnya dari kaca spion, Ridwan masih membuka mulutnya untuk menyambung, "Saya ini adalah anggota sebuah Klan Yang Maha Agung."

Handy ingin sekali bertanya, siapakah yang bisa menyebut dirinya sebagai "Yang Maha Agung", selain Tuhan. Tetapi ia melihat bagaimana Ridwan masih membuka mulutnya untuk meneruskan kembali...

"Menurut riwayat leluhur yang diceritakan turun-menurun, seorang pelaut Skandinavia yang disebut-sebut sebagai Old Norse terakhir dalam sebutan orang-orang Jerman, sebetulnya enggak mati. Kamu tau kisah bangsa Viking kuno?"

Handy tidak menyuarakan apapun yang ada di dalam pikirannya selain, "Pernah denger, pak." Lalu memasang telinganya kembali, sambil matanya terus melirik ke spion depan. Ia melihat Ridwan merundukkan kepalanya dan bersuara lagi, "Kamu pasti berpikir... kalo ini kisah gila."

"Saya 'gak berpikir apapun, pak", sahut Handy.

"Kamu mungkin 'gak percaya. Tapi orang-orang yang percaya kisah ini, beneran ada", kata Ridwan lagi.

Handy menggeleng kecil dengan tenang. "Saya juga 'gak mikir apapun tentang itu, pak", sahutnya.

"Sebetulnya, saya yang berpikir begitu...", kata Ridwan lagi dengan lesu. Membuat Handy mengangkat satu alisnya. "Begitu ya, pak...", kata Handy. "Menarik, pak..."

Ridwan tersenyum. Ia semakin menyukai Handy karena ketenangannya. Ridwan pun mendesah kecil lalu melanjutkan, "Sebelumnya, Norsemen adalah penjelajah, prajurit dan bajak laut yang menyerang, mengadakan pertukaran, mengeksplorasi dan menetap di wilayah luas Eropa, Asia dan Atlantik Utara sejak akhir abad kedelapan sampai sekitar abad kedua belas."

Handy kembali menyahuti, "Begitu ya, pak...", ia angguk-angguk kepala, "Bangsa Viking dikenal kuat dan brutal. Tapi..." Ia tersenyum sambil melirik lagi pada Ridwan di pantulan kaca spion. "Itu cuma yang saya tau sekedarnya aja..."

Nyonya BesarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang