Handy sudah celingukan, menelusuri ruang demi ruang di dalam rumah besar keluarga Ridwan. Ia mencari nyonya besarnya di sore hari, seperti biasanya, untuk memberikan laporannya. Ia menapak ke tepian kolam renang, tempat di mana nyonyanya itu biasa termenung di senja hari. Tetapi Frida tidak ada di situ. Ia melanjutkan dengan menapak ke ruang tengah, tempat di mana nyonyanya biasa termenung di siang hari. Tetapi Frida juga tidak ada di situ. Handy pun meneruskan langkahnya ke ruang-ruang lain sampai ke ruang khusus untuk masak, yang interiornya persis seperti dapur restoran di hotel-hotel. Pantry panjang sebanyak tiga baris, tersusun lengkap dengan lemari dan rak-rak di atasnya, lengkap dengan berbagai macam perabotan dan peralatan masak, juga tiga juru masak yang hilir mudik ke sana-kemari seakan sedang menyiapkan menu untuk sebuah pesta besar. "Jangan kemari-mari!", tegur kepala koki, meminta Handy untuk melengser pergi dari wilayah kerjanya.
"Iya, sori", sahut Handy cepat. Ia pun menapak kembali ke ruang tengah dan menghubungi telepon genggam Frida. Nada sambung terdengar berkali-kali namun teleponnya tidak diangkat-angkat juga. Handy pun melirik pada anak tangga berlantai marmer selebar dua setengah meter yang melingkar ke lantai dua setinggi empat setengah meter. Ia mulai celingukan, memastikan tak ada seorangpun yang akan melihat aksi nekadnya. Jantungnya sudah berdegup kencang karena khawatir. Terakhir, ia mengirimkan MMS berisi foto-foto Ridwan yang berciuman dengan Helena di jok belakang mobil. Lalu menghubungi nomor telepon genggam Frida untuk memastikan apakah kiriman foto-fotonya sudah masuk. Namun suara Frida mendadak mengecil lalu menghilang. Kemudian terdengar menangis sesegukan dan menceracau kalau dirinya lebih baik mati...
Handy bergegas menaiki anak-anak tangga ke atas. Ia tahu, salah satu kamar besar di lantai dua adalah kamar utama milik Frida dan Ridwan.
Handy sudah tiba di koridor berlapis karpet merah. Ia mulai menapakkan kakinya menyusuri pintu-pintu dan bertanya-tanya, pintu manakah yang harus diketuknya. Handy menekan speed dial untuk menghubungi nomor telepon genggam Frida lagi. "Angkat, Frida...", gumamnya. Bunyi telepon genggam milik Frida pun terdengar dari dalam salah satu kamar. Handy pun mendekat ke asal suara dan mendapati pintu mahogany besar di hadapannya. Ia kembali celingukan, memastikan keadaan sudah sepi. Namun baru saja ia mau mengetuk, langkah-langkah kaki terdengar menaiki anak-anak tangga. Handy pun memutar matanya, mencari tempat bersembunyi. Lalu pintu di hadapannya membuka dengan tiba-tiba. Wajah kusut Frida terlihat di balik pintu yang membuka itu.
"Handy?" Kening Frida sudah berkerut. Langkah-langkah kaki yang mendekat, terdengar semakin kencang. Mata Frida pun membelalak sambil melirik ke tangga. Belum ada satu orang pun yang muncul di situ. "Masuk!" Frida langsung saja menarik kerah jaket Handy hingga melengser masuk ke dalam kamar. Kemudian Frida menutup pintunya kembali dan menguncinya.
Handy sudah berdiri mematung di dalam kamar dan menatap lurus pada Frida yang baru saja membalikkan tubuhnya, menghadap ke arahnya. "Kamu 'ngapa'in???", tanya Frida. Handy mulai gelagapan. "Maaf, bu. Saya pikir... ng... saya khawatir. Tadi ibu... ng..."
Kalimat Handy tak berlanjut dengan lancar karena ketukan kencang terdengar di pintu kamar Frida. Mata Frida pun kembali membelalak. Ia langsung menarik Handy untuk menggelosor ke kolong ranjangnya. "ngumpet dulu di situ!" Frida merunduk dengan tangan yang terus menekan kepala Handy agar masuk ke kolong ranjang.
"Kak!", terdengar suara Dilla, istri dari Raymond. "Buka, kak!"
"Iya!!! Sebentar!!! Lagi pake baju!!!", sahut Frida cepat. Keningnya sudah berpiluh. Ia melihat ujung sepatu skets Handy masih menyembul keluar. Frida pun menyepak kaki Handy dengan kencang dan mendengar Handy mengaduh, "Auwww!!!"
"Ada siapa, kak?", tanya Dilla dari luar.
"Suara TV!" Frida pun langsung menyalakan TV Flat built in di dinding, di seberang ranjangnya. Lalu memperbesar volume suaranya. Frida melongokkan kepalanya ke kolong ranjang, melihat kepada Handy yang bersembunyi di situ lalu berbisik, "sssshhhh... jangan bersuara, ya...", katanya. Handy pun mengangguk. Ia mengangkat satu jempolnya ke atas sambil balas berbisik, "Sip, bu..."