BAGIAN 9

9.6K 624 30
                                    

Handy dan Frida sudah duduk di dalam penerbangan menuju ke Jakarta dari Bandara Ngurah Rai, Bali. Mata Frida tampak menerawang. Ia melihat ke sekelilingnya dan melihat beragam orang.

Sejak di Bali, ia sudah melihat keragaman itu. Kulit merah, putih, kuning, hitam, coklat... semuanya terlihat baik-baik saja. Tidak semua keturunan campuran, memiliki dilema yang sama seperti dirinya. Hanya segelintir orang di dalam kumpulan yang berjumlah sekitar dua ratus jiwa saja.

Handy pun berbisik di telinga Frida. "Apa yang kamu cari sebenernya, nyonya?" Handy sedikit memicing. Kecemasan yang menguasainya sejak keberangkatannya tadi, berubah menjadi kesinisan.

"Saya cuma cari jati diri", sahut Frida pelan.

"Jati diri kamu udah jelas. Kamu jadi istri aku, berkuasa di dalam klan dan hidup kaya-raya. Selesai. Banyak orang miskin kayak aku pengen banget jadi bagian penting dari sesuatu yang besar seperti klan kamu itu. Aku cocok kayaknya di situ. Aku suka dengan keakuratan, disiplin, kerja keras dan tanggung jawab yang besar. Malah dulunya, aku 'gak dapet kesempatan. Seandainya aku terlahir seperti kamu..." Handy sudah memejamkan matanya.

"Apa?" Frida menoleh cepat pada Handy dan mengerenyitkan keningnya. Ia melihat wajah Handy mengatakan itu dengan sungguh-sungguh. "Handy... seandainya... saya terlahir seperti kamu..." Frida menggumam pelan. Suaranya hampir menghilang di dalam kegentarannya. Ia merasakan kalau ujung jalannya ini takkan berakhir baik. Ia mengingat kenangan singkat akan orang tuanya sewaktu masih hidup dulu. Mereka hanyalah keluarga kecil yang bahagia. Meski tak lepas dari himpitan ekonomi. Ayahnya adalah seorang pekerja keras. Dan ibunya adalah perempuan yang lemah lembut.

Frida tak mengerti, bagaimana tekanan di dalam klan membuatnya memilih menjadi seorang pemberontak. Nino..., Frida membatin. Laki-laki itulah yang membuatnya merindu selama bertahun-tahun. Dan membuatnya berontak karena merasakan sakitnya terpisah. Tetapi kini ia tahu, laki-laki itu adalah kakaknya sendiri...

Frida pun mengeluarkan beberapa lembar foto dan memandangi salah satunya. Foto Kakek Ardian di hari ulang tahunnya yang ketujuh puluh. Tidak bisa disangkal sedikitpun, kalau wajah laki-laki tua itu mirip dengan ayahnya. Frida sudah kehilangan satu lagi sosok ayah di dalam hidupnya hanya karena masalah prinsip. Tetapi setelah ditelaahnya lagi, ia telah menyayangi warisannya lebih dalam, daripada kakeknya sendiri...

"Kek", Frida menggumam kecil pada foto yang sedang dilihatnya itu, "Saya tetep 'gak setuju dengan tradisi klan. Tapi saya..." Frida tidak meneruskan kalimatnya. Ia menahan nafasnya sejenak. Lalu menggigit bibir bawahnya. Hampir di sepanjang hidupnya di dalam klan, ia membenci kakeknya sendiri. Tetapi sekarang, ia menangisi kematiannya...

***

Handy sudah mencari ibu dan kedua adiknya. Dan akhirnya... ia menemukan mereka. Ibu dan kedua adiknya telah menjadi korban tabrakan beruntun yang juga telah menewaskan para sesepuh Frida.

"ENGGAK!!!" Handy sudah meremas kepalanya sendiri. Frida berusaha menenangkannya. Tetapi Handy sudah berteriak-teriak histeris di rumah sakit, melihat jenazah ibu dan kedua adiknya yang sudah berbau formalin dan tampak menghitam, entah karena terbakar atau pengaruh dari zat pengawet. Handy merenggut jaket panjang Frida sambil menatapnya dengan nanar. "Kamu beneeerrrr...", erangnya. "Aku udah menukar mereka dengan hartaaa... AAAAAAAAAAAAAAKKKKKHHHHHHHHH..." Handy meluruk turun ke lantai dengan wajah menelungkup. Kepalan tangannya sudah meninju kencang ke lantai. Ia terus mengerang, menjerit dan menangis...

"MAMAAAAAAAAAA!!!"

Jeritan itu terus menggaung. Membuat tubuh Frida gemetar. Ia terdiam mematung, hanya bisa menelan air liurnya berkali-kali saat mendengar bagaimana Handy juga meneriakkan nama kedua adiknya sambil menangis dengan meraung-raung. Frida membalikkan tubuhnya, melangkah keluar dengan gontai. Ia membekap kedua pipinya. Menghitung-hitung jumlah nyawa yang melayang, apakah sebanding dengan jumlah harta yang sebelumnya tidak ingin dilepaskannya.

Nyonya BesarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang